Based on a True Story
Tengah malam sudah lewat beberapa jam, tapi jari-jariku tetap lincah menari di atas Macbook putih seakan enggan berhenti. Entah sudah berapa lembar halaman word yang setia menampung ide – ide liarku sedari tadi, yang jelas, aku belum mau berhenti. Tulisan ini harus segera rampung besok atau lusa.
Setelah menyelesaikan bab terakhir, aku berhenti untuk menenggak sekaleng bir yang isinya tinggal setengah, berjejer berdampingan dengan tiga kaleng lain yang sudah kosong. Sepasang mataku sibuk membaca ulang bab yang kuketikkan, mencari bagian mana yang harus kuperbaiki penulisannya.
Sepuluh menit kemudian, aku menguap lelah. Tapi tetap belum ada rasa puas, ini bab terakhir, belum ditutup epilog.
“Tidur dulu,” sebuah suara menegurku dari arah kamar. Aku menggeleng tanpa menoleh ke arah si empunya suara, “nanggung.”
“Memangnya masih banyak yang harus ditulis?”
Aku menggeleng lagi, sambil terus mengetik, “tinggal epilog. Tapi setengahnya bahkan masih harus diedit.”
Lelaki itu diam, tidak protes lagi. Daun telingaku lalu menangkap suara kulkas dibuka. Pasti sekaleng bir dinihari, seperti kebiasaannya sejak dulu.
Menit berikutnya, ia melangkah ke arah meja kerjaku, berdiri tepat di belakangku lalu memijit pelan pundakku sambil menghela nafas, “epilognya nanti disambung lagi, ayo istirahat dulu.”
Aku berhenti mengetik, menguap sekali lagi, lalu bangkit dari kursi empuk yang kududuki. Kini kami berharapan, dekat sekali. Ia tampak kusut dengan wajah bangun tidurnya, tapi masih terlihat cukup tampan. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia lalu mengecup keningku.
“Kamu butuh istirahat banyak untuk proyek berikutnya,” ucapnya sambil menggendongku ke kamar.
Namanya Novan, aktor yang termasuk jajaran pendatang baru di dunia perfilman dalam negeri. Walau begitu, namanya sudah cukup melejit karena beberapa film yang dibintanginya cukup booming di negara ini. Orang bilang hidupku sempurna. Bertahun-tahun aku membiayai hidupku dari hasil menulis. Beberapa novelku yang best seller dan terus dicetak ulang itu sudah lebih dari cukup untuk menutup kebutuhanku sehari-hari. Ditambah lagi dengan popularitas Mike — kakakku satu-satunya yang kini berprofesi sebagai director ternama, yang berhasil mengirimkan beberapa film karyanya untuk diputar di sebuah festival film terbesar se-Asia Tenggara.
Dua tahun lalu, setelah kedatangan Novan dalam hidupku, orang-orang di luar sana semakin antusias. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka begitu histeris dengan kehidupan orang lain, mungkin itu juga yang kemudian menjadi ladang uang bagi pekerja infotainment. Mereka bilang Novan bagai dewa penggenap dalam kehidupanku, semakin membuat iri banyak orang.
Tapi sebenarnya tidak seindah itu..
“Sudah baca?” Tanyaku sembari sibuk mengunyah dua potong sandwich untuk mengganjal perut.
Ia menggeleng, “coba lihat dulu hasilnya, kalau sudah pas, akan aku pelajari lalu dikirim ke scriptwriternya.”
Aku menerima draft itu, lalu meneliti lembar demi lembarnya sebelum akhirnya kukembalikan ke tangan Novan, “coba baca. Apa jalan ceritanya menarik untuk diangkat ke layar lebar?”
Dua jam berikutnya kuhabiskan untuk melahap pasta sederhana yang kumasak di dapur apartemen, sembari menunggui Novan selesai membaca draft tadi.
“Tokoh utamanya ketahuan selingkuh, lalu ia terpojok dan akhirnya bunuh diri bersama gadis yang jadi selingkuhannya?” suara Novan membuyarkan hening. Aku tertawa, “dia tewas, tapi selingkuhannya ternyata selamat. Tapi akhirnya dia malah dibunuh.”
“Cerita yang kelam. Permainan cinta yang mematikan!” komentar Novan dengan mata berbinar, “mungkin ini bisa sekaligus dikemas jadi film roman, misteri danhorror?”
Aku menggeleng sambil tersenyum sinis, “aku tidak suka horror dalam negeri. Lebih baik roman misteri aja. Label horror malah akan menurunkan kualitas filmnya. You know why.”
Lelaki itu tergelak, “ya, aku tahu kamu begitu jengkel pada sekian banyak horror ‘palsu’ yang bergentayangan di bioskop belakangan ini,” jawabnya sembari menggerakkan kedua tangan membentuk tanda petik.
“Palsu, tidak mendidik dan tidak menjual!” Tandasku.
Lalu hening, perbincangan kami selesai. Berganti suara Novan yang sibuk bercengkrama dengan seorang scripwriter yang akan mengolah ulang novelku menjadi sebuah skenario.
Aku mengenalnya, Mike.
“Hello, abangku yang tampan,” candaku penuh tawa, “bagaimana festival filmmu?”
“Tidak penting,” jawabnya singkat, “hal yang lebih penting, apa kamu serius dengan draft ini?”
“Sangat serius. Memang kenapa? Udah ketemu Angie? Dia scripwriternya, kan?”
“Ya, seperti biasa. Kru langgananmu. Kamu kan..”
“Tidak pernah mau kalau draftku digarap orang yang tidak termasuk dalam jajaran kru favoritku. Dan of course, you are the director!”
“Okey, kalau memang itu maumu. Aku tidak akan melarang atau memberi wejangan. Aku tahu kamu seperti apa, Anne.” Mike menghela nafas panjang, “tapi kalau kamu berubah pikiran, call me later.”
Klik! Sambungan telpon terputus.
Sebuah senyum tipis tersungging di bibirku. Tidak akan ada perubahan pikiran, Mike. Novel itu akan tetap difilmkan, bahkan masuk nominasi festival film lagi. Aku berani bertaruh!
Aku melirik Novan dari sudut mata, ia sedang sibuk berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Setelah menenggak habis sekaleng bir, aku menghampirinya, “nelfon siapa?”
“Adekku, katanya aku disuruh pulang kalau ada waktu. Mama kangen.” Novan memamerkan senyum manis lalu buru-buru memasukkan ponsel tadi ke kantong celananya.
“Ooh. By the way, Stella belum keliatan ya? Tumben dia nggak on time,” gumamku sambil menaikkan alis.
Novan hanya mengangkat bahu, “mungkin kena macet di jalan.”
Aku mengangguk lagi, “udah mau take, tuh. Siap-siap sana.”
“Camera, rolling, and action!” bertepatan dengan suara Mike untuk take adegan pertama, senyumku mengembang, permainan cinta yang mematikan resmi dimulai!
“It’s okey, Stella. Siap-siap ya.” Mike mengibaskan tangannya, “langsung cabut ke ruang make-up.”
Gadis itu mengangguk, tersenyum, dan beranjak ke ruang make-up artis. Dua puluh menit berikutnya kami gunakan untuk mengulang sebuah adegan yang sedari tadi cukup sulit direkam dengan baik. Setelah gadis bernama Stella itu muncul lagi, aku mengirim isyarat dalam diam ke arah Mike. Lelaki itu mengangguk mengerti.
“Stella, siap-siap. Lolita belum dateng nih, katanya ada kemalangan di jalan. Adegannya terpaksa saya skip. Habis ini kita coba take adegan terakhir dulu, ya!”
“Ok, Mas. Udah siap kok,” setelah menjawab, aku menangkap arah lirikan mata gadis itu. Arah jam tiga. Di sana ada Novan yang sibuk ngobrol dengan beberapa kru.
Lima belas menit berikutnya, di sinilah kami berada. Di lantai lantai dua puluh sebuah hotel ternama ibukota. Stella dan Novan bersiap-siap di balkon dengan alat pengaman, sementara seorang aktris lain yang tidak lain pemeran utama sedang merapikan make-up nya tidak jauh dari mereka.
“Camera, rolling, and action!”
Show time..
Beberapa dialog berlalu begitu saja dari hadapanku, begitu Novan bersiap menjatuhkan diri terlebih dahulu, aku menangkap isyarat mata antara Mike dan kru keamanan di bawah sana.
Detik demi detiknya berlalu begitu cepat.
Lalu yang tersisa hanya riuh kepanikan dan sirine ambulans.
“Hmm, jadi begini..” Mike membuka pembicaraan, “itu murni kecelakaan yang tidak disengaja. Saya dan kru ikut berduka cita. Tapi biasanya sistem keamanan kami tidak pernah jebol. Kru keamanan saya juga orang-orangnya sudah berpengalaman. Tapi mungkin Tuhan berkata lain..” Mike menghela nafas sejenak, para wartawan sibuk mencatat dan merekam wawancara mendadak itu.
“Sekali lagi, saya belum bisa bicara banyak. Saya minta pengertiannya. Saya dan kru yang lain ada di tempat kejadian saat kecelakaan itu. Bukan hanya kalian, kami juga masih kaget dan tidak percaya. Saya ikut berduka cita atas meninggalnya Novan Antonius. Dia partner yang baik selama ini.”
“Mas Mike, bisa kami ketemu Mbak Stella? Kabarnya almarhum Mas Novan sempat dekat dan ada hubungan khusus dengan Mbak Stella?”
“Stella ada di kamarnya, tadi dia izin sebentar. Biar saya pang…”
“Bang!… “ seorang OB berperawakan kecil memasuki ruangan dengan wajah panik. Mike dan segerombolan wartawan spontan menoleh ke arahnya.
“Bang, itu.. Mbak Stella… Di.. Dia..” OB itu gelagapan.
Aku berlalu dari sana. Cukup sudah. Show time part 2 baru saja dimulai.
Mike menepuk pundakku, “don’t worry. Everything is clear.”
“Thanks, dear. Semuanya sesuai draft, bukan?”
Mike tertawa, lalu membuka kulkas untuk mengambil dua kaleng bir dan melemparkan yang satunya ke arahku, “pantas saja kali ini tulisanmu tentang misteri dan pembunuhan. Sekarang aku tidak heran. Sejak kapan Novan dan Stella..”
“Dua bulan lalu. Seorang teman menangkap kisah cinta mereka. Harusnya lelaki itu jujur. Dan dia tidak perlu berakhir sedih seperti itu. Tapi, kalian memang kru yang hebat!” Aku menyulut sebatang rokok.
“Dan harusnya gadis manis bernama Stella itu tidak bermain api denganmu kan, Annemie?”
“Buang serbuk itu segera! Jangan tinggalkan jejak.” Aku berseru saat mendapati bungkusan kecil berisi serbuk putih di atas meja. Serbuk yang ditaburkan seorang kru ke dalam minuman Stella. Serbuk yang merenggut nyawanya hingga terlihat seolah bunuh diri.
Setelah menyelesaikan bab terakhir, aku berhenti untuk menenggak sekaleng bir yang isinya tinggal setengah, berjejer berdampingan dengan tiga kaleng lain yang sudah kosong. Sepasang mataku sibuk membaca ulang bab yang kuketikkan, mencari bagian mana yang harus kuperbaiki penulisannya.
Sepuluh menit kemudian, aku menguap lelah. Tapi tetap belum ada rasa puas, ini bab terakhir, belum ditutup epilog.
“Tidur dulu,” sebuah suara menegurku dari arah kamar. Aku menggeleng tanpa menoleh ke arah si empunya suara, “nanggung.”
“Memangnya masih banyak yang harus ditulis?”
Aku menggeleng lagi, sambil terus mengetik, “tinggal epilog. Tapi setengahnya bahkan masih harus diedit.”
Lelaki itu diam, tidak protes lagi. Daun telingaku lalu menangkap suara kulkas dibuka. Pasti sekaleng bir dinihari, seperti kebiasaannya sejak dulu.
Menit berikutnya, ia melangkah ke arah meja kerjaku, berdiri tepat di belakangku lalu memijit pelan pundakku sambil menghela nafas, “epilognya nanti disambung lagi, ayo istirahat dulu.”
Aku berhenti mengetik, menguap sekali lagi, lalu bangkit dari kursi empuk yang kududuki. Kini kami berharapan, dekat sekali. Ia tampak kusut dengan wajah bangun tidurnya, tapi masih terlihat cukup tampan. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia lalu mengecup keningku.
“Kamu butuh istirahat banyak untuk proyek berikutnya,” ucapnya sambil menggendongku ke kamar.
*
“Sayang, ini draftmu.” Lelaki itu tersenyum puas sambil menyodorkan sebuah naskah dua ratus halaman yang baru saja keluar dari mesin printer ke arahku.Namanya Novan, aktor yang termasuk jajaran pendatang baru di dunia perfilman dalam negeri. Walau begitu, namanya sudah cukup melejit karena beberapa film yang dibintanginya cukup booming di negara ini. Orang bilang hidupku sempurna. Bertahun-tahun aku membiayai hidupku dari hasil menulis. Beberapa novelku yang best seller dan terus dicetak ulang itu sudah lebih dari cukup untuk menutup kebutuhanku sehari-hari. Ditambah lagi dengan popularitas Mike — kakakku satu-satunya yang kini berprofesi sebagai director ternama, yang berhasil mengirimkan beberapa film karyanya untuk diputar di sebuah festival film terbesar se-Asia Tenggara.
Dua tahun lalu, setelah kedatangan Novan dalam hidupku, orang-orang di luar sana semakin antusias. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka begitu histeris dengan kehidupan orang lain, mungkin itu juga yang kemudian menjadi ladang uang bagi pekerja infotainment. Mereka bilang Novan bagai dewa penggenap dalam kehidupanku, semakin membuat iri banyak orang.
Tapi sebenarnya tidak seindah itu..
“Sudah baca?” Tanyaku sembari sibuk mengunyah dua potong sandwich untuk mengganjal perut.
Ia menggeleng, “coba lihat dulu hasilnya, kalau sudah pas, akan aku pelajari lalu dikirim ke scriptwriternya.”
Aku menerima draft itu, lalu meneliti lembar demi lembarnya sebelum akhirnya kukembalikan ke tangan Novan, “coba baca. Apa jalan ceritanya menarik untuk diangkat ke layar lebar?”
Dua jam berikutnya kuhabiskan untuk melahap pasta sederhana yang kumasak di dapur apartemen, sembari menunggui Novan selesai membaca draft tadi.
“Tokoh utamanya ketahuan selingkuh, lalu ia terpojok dan akhirnya bunuh diri bersama gadis yang jadi selingkuhannya?” suara Novan membuyarkan hening. Aku tertawa, “dia tewas, tapi selingkuhannya ternyata selamat. Tapi akhirnya dia malah dibunuh.”
“Cerita yang kelam. Permainan cinta yang mematikan!” komentar Novan dengan mata berbinar, “mungkin ini bisa sekaligus dikemas jadi film roman, misteri danhorror?”
Aku menggeleng sambil tersenyum sinis, “aku tidak suka horror dalam negeri. Lebih baik roman misteri aja. Label horror malah akan menurunkan kualitas filmnya. You know why.”
Lelaki itu tergelak, “ya, aku tahu kamu begitu jengkel pada sekian banyak horror ‘palsu’ yang bergentayangan di bioskop belakangan ini,” jawabnya sembari menggerakkan kedua tangan membentuk tanda petik.
“Palsu, tidak mendidik dan tidak menjual!” Tandasku.
Lalu hening, perbincangan kami selesai. Berganti suara Novan yang sibuk bercengkrama dengan seorang scripwriter yang akan mengolah ulang novelku menjadi sebuah skenario.
*
“Aku sudah baca draftmu,” suara itu langsung terdengar tanpa basa-basi tepat setelah aku mengucapkan ‘halo’.Aku mengenalnya, Mike.
“Hello, abangku yang tampan,” candaku penuh tawa, “bagaimana festival filmmu?”
“Tidak penting,” jawabnya singkat, “hal yang lebih penting, apa kamu serius dengan draft ini?”
“Sangat serius. Memang kenapa? Udah ketemu Angie? Dia scripwriternya, kan?”
“Ya, seperti biasa. Kru langgananmu. Kamu kan..”
“Tidak pernah mau kalau draftku digarap orang yang tidak termasuk dalam jajaran kru favoritku. Dan of course, you are the director!”
“Okey, kalau memang itu maumu. Aku tidak akan melarang atau memberi wejangan. Aku tahu kamu seperti apa, Anne.” Mike menghela nafas panjang, “tapi kalau kamu berubah pikiran, call me later.”
Klik! Sambungan telpon terputus.
Sebuah senyum tipis tersungging di bibirku. Tidak akan ada perubahan pikiran, Mike. Novel itu akan tetap difilmkan, bahkan masuk nominasi festival film lagi. Aku berani bertaruh!
*
Lokasi syuting, 3 minggu kemudian..Aku melirik Novan dari sudut mata, ia sedang sibuk berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Setelah menenggak habis sekaleng bir, aku menghampirinya, “nelfon siapa?”
“Adekku, katanya aku disuruh pulang kalau ada waktu. Mama kangen.” Novan memamerkan senyum manis lalu buru-buru memasukkan ponsel tadi ke kantong celananya.
“Ooh. By the way, Stella belum keliatan ya? Tumben dia nggak on time,” gumamku sambil menaikkan alis.
Novan hanya mengangkat bahu, “mungkin kena macet di jalan.”
Aku mengangguk lagi, “udah mau take, tuh. Siap-siap sana.”
“Camera, rolling, and action!” bertepatan dengan suara Mike untuk take adegan pertama, senyumku mengembang, permainan cinta yang mematikan resmi dimulai!
*
“Maaf telat, tadi macet banget.” Seorang gadis muda menghampiri Mike dengan nafas tersengal-sengal. Aku dan Mike menatapnya sejenak.“It’s okey, Stella. Siap-siap ya.” Mike mengibaskan tangannya, “langsung cabut ke ruang make-up.”
Gadis itu mengangguk, tersenyum, dan beranjak ke ruang make-up artis. Dua puluh menit berikutnya kami gunakan untuk mengulang sebuah adegan yang sedari tadi cukup sulit direkam dengan baik. Setelah gadis bernama Stella itu muncul lagi, aku mengirim isyarat dalam diam ke arah Mike. Lelaki itu mengangguk mengerti.
“Stella, siap-siap. Lolita belum dateng nih, katanya ada kemalangan di jalan. Adegannya terpaksa saya skip. Habis ini kita coba take adegan terakhir dulu, ya!”
“Ok, Mas. Udah siap kok,” setelah menjawab, aku menangkap arah lirikan mata gadis itu. Arah jam tiga. Di sana ada Novan yang sibuk ngobrol dengan beberapa kru.
Lima belas menit berikutnya, di sinilah kami berada. Di lantai lantai dua puluh sebuah hotel ternama ibukota. Stella dan Novan bersiap-siap di balkon dengan alat pengaman, sementara seorang aktris lain yang tidak lain pemeran utama sedang merapikan make-up nya tidak jauh dari mereka.
“Camera, rolling, and action!”
Show time..
Beberapa dialog berlalu begitu saja dari hadapanku, begitu Novan bersiap menjatuhkan diri terlebih dahulu, aku menangkap isyarat mata antara Mike dan kru keamanan di bawah sana.
Detik demi detiknya berlalu begitu cepat.
Lalu yang tersisa hanya riuh kepanikan dan sirine ambulans.
*
“Mas Mike, bagaimana tanggapan anda tentang kecelakaan yang menimpa Novan sore ini?”“Maaf teman-teman pers, saya jelaskan singkat saja.” Aku melihat Mike mengambil tempat duduk di sebuah sofa cokelat yang ada di ruang pertemuan hotel, sementara beberapa wartawan yang meliput kecelakaan di TKP mengelilinginya sambil mengajukan berbagai pertanyaan.
“Mas Mike, tolong konfirmasinya. Bisa ceritakan sedikit kronologi kejadian kecelakaan tadi?”
“Mas, minta waktunya sebentar. Bagaimana mungkin keamanannya bisa…”
“Hmm, jadi begini..” Mike membuka pembicaraan, “itu murni kecelakaan yang tidak disengaja. Saya dan kru ikut berduka cita. Tapi biasanya sistem keamanan kami tidak pernah jebol. Kru keamanan saya juga orang-orangnya sudah berpengalaman. Tapi mungkin Tuhan berkata lain..” Mike menghela nafas sejenak, para wartawan sibuk mencatat dan merekam wawancara mendadak itu.
“Sekali lagi, saya belum bisa bicara banyak. Saya minta pengertiannya. Saya dan kru yang lain ada di tempat kejadian saat kecelakaan itu. Bukan hanya kalian, kami juga masih kaget dan tidak percaya. Saya ikut berduka cita atas meninggalnya Novan Antonius. Dia partner yang baik selama ini.”
“Mas Mike, bisa kami ketemu Mbak Stella? Kabarnya almarhum Mas Novan sempat dekat dan ada hubungan khusus dengan Mbak Stella?”
“Stella ada di kamarnya, tadi dia izin sebentar. Biar saya pang…”
“Bang!… “ seorang OB berperawakan kecil memasuki ruangan dengan wajah panik. Mike dan segerombolan wartawan spontan menoleh ke arahnya.
“Bang, itu.. Mbak Stella… Di.. Dia..” OB itu gelagapan.
Aku berlalu dari sana. Cukup sudah. Show time part 2 baru saja dimulai.
*
“Pemirsa, benarkah ada misteri lain di balik meninggalnya aktor pendatang baru Novan Antonius? Dan apa sebabnya, beberapa jam setelah kejadian, seorang aktris ternama Stella Marcelina ditemukan tewas bunuh diri? Benarkah ini hanya kecelakaan biasa? Saksikan selengkapnya di Liputan Selebriti!”Mike menepuk pundakku, “don’t worry. Everything is clear.”
“Thanks, dear. Semuanya sesuai draft, bukan?”
Mike tertawa, lalu membuka kulkas untuk mengambil dua kaleng bir dan melemparkan yang satunya ke arahku, “pantas saja kali ini tulisanmu tentang misteri dan pembunuhan. Sekarang aku tidak heran. Sejak kapan Novan dan Stella..”
“Dua bulan lalu. Seorang teman menangkap kisah cinta mereka. Harusnya lelaki itu jujur. Dan dia tidak perlu berakhir sedih seperti itu. Tapi, kalian memang kru yang hebat!” Aku menyulut sebatang rokok.
“Dan harusnya gadis manis bernama Stella itu tidak bermain api denganmu kan, Annemie?”
“Buang serbuk itu segera! Jangan tinggalkan jejak.” Aku berseru saat mendapati bungkusan kecil berisi serbuk putih di atas meja. Serbuk yang ditaburkan seorang kru ke dalam minuman Stella. Serbuk yang merenggut nyawanya hingga terlihat seolah bunuh diri.
*
Namaku Anne. Annemie Wilhelmina Van Riebeeck.
Putri bungsu dari seorang penari jawa dan pengusaha Belanda.
Namaku Anne.
Aku penulis.
Dan aku hanya menulis kisah nyata.
*
Mau menjadi tokoh dalam kisahku selanjutnya?
……
No comments:
Post a Comment