Novel
Sebelumnya, gue, Febby, pengen mengucapkan sesuatu. Makasih banyak buat yang udah mau menyempatkan diri untuk mampir disini. Saat ini gue... teramat sangat prihatin dengan keadaan temen-temen gue yang MBA. Menyedihkan melihat mereka. Nggak bahagia sama sekali. Bahkan... ada yang harus terbuang dari keluarga. Seperti kisah cewek yang kali ini akan gue ceritain. Dia tetap mengejar impiannya, meski cinta dan kenyataan hidup terus menghalanginya.
Namanya adalah Novel. Dalam umurnya yang masih 19 tahun, dia sudah harus menanggung beban kehidupan yang berat. Sekolahnya hanya selesai sampai di bangku Sekolah Menengah Pertama. Baru sebentar merasakan bahagianya memakai seragam putih abu-abu, dirinya dikeluarkan dari sekolah. Bukan karena tidak punya biaya, secara tidak sengaja seorang guru Novel mengetahui siswinya sedang mengandung seorang bayi. Saat itu Novel masih berumur 16 tahun.
Saat ini Novel hanya memiliki Adam sebagai satu-satunya keluarga. Adam adalah anak laki-laki semata wayangnya. Kasihan sekali Adam harus hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Terkadang Novel sering menangisi Jefa, suaminya yang telah meninggalkannya demi orang lain. Novel selalu mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia harus mengenal Jefa? Jefa membuat Novel kehilangan segalanya. Keluarga, masa depan, kebahagiaan....
Dua bulan lalu saat Novel menyekolahkan anaknya di sebuah TK Kuntum Mekar daerah Jakarta Timur, dia bertemu dan bercengkerama dengan seorang pengajar di TK tersebut. Ternyata wanita paruh baya itu mengenali Novel. Mama Novel dan wanita itu ternyata teman lama. Suatu hari Ibu Erika mengajak Novel makan siang bersama di rumahnya. Disana Ibu Erika meminta Novel bercerita tentang kehidupannya yang sekarang dan memintanya untuk tidak memanggil Ibu pada Ibu Erika, melainkan Tante Erika.
Novel mulai menceritakan tentang dirinya, Jefa dan Adam. Novel agak ragu ketika Ibu Erika menanyakan bagaimana dirinya sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk dirinya dan Adam. "Saya sebelumnya tinggal di perumahan Elit kawasan Tebet, Tante. Saat bercerai dengan Jefa, Jefa memberikan rumah itu untuk saya dan memberikan sedikit uang untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Tapi itu nggak cukup." Novel menarik napas dalam-dalam. "Akhirnya rumah itu saya jual, dan saya pindah kesini. Adam bilang dia pengen punya rumah dekat teman mainnya yang pindah kesini juga. Sisa uangnya saya pakai untuk modal usaha warung di rumah."
***
Tiga tahun kemudian, Adam yang kini sudah duduk di bangku sekolah dasar mulai sering bertanya dimana Papanya.
"Apa Papaku keren, Ma?" Entah sudah keberapa kali Adam menanyakan ini.
Novel menghentikan jemarinya yang sedang menulis sebuah cerita. "Keren kok, kayak Adam." Novel tersenyum miris melihat anak itu.
"Tapi, Ma. Papanya Adam kok kerjanya nggak pulang-pulang? Papa orang sibuk ya, Ma? Adam kan belom pernah liat Papa. Apa Papa lupa, Ma, sama kita?" Adam semakin pintar berbicara seputar Jefa.
Novel duduk berhadapan dengan Adam. Dibelainya rambut hitam mengkilap Adam dengan penuh kasih sayang. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Adam yang sabar, ya? Papa emang sibuk. Tapi Papa nggak akan lupa, kok, sama kita. Sebentar lagi Papa pasti pulang." Novel tidak sanggup menahan air matanya. Novel menangis dihadapan Adam.
"Mama jangan nangis." Adam memeluk Mamanya dengan rasa bersalah. "Maafin Adam, Ma. Maafin Adam udah bikin Mama sedih."
"Nggak apa-apa, kok, Sayang. Tapi Adam harus percaya, Papa Adam pasti pulang. Ya?"
"Adam percaya, Ma."
***
8 Juli 2010 siang ini, Novel baru saja mengambil rapor Adam di sekolahnya. Novel rasanya ingin menangis ketika melihat rapor anaknya, apalagi begitu melihat tulisan "Ranking 1" tertera disana.
Novel tidak menyangka anaknya ternyata sepintar ini. Dalam hati ia menyangkan Jefa tidak tahu kalau Adam akan sepertinya. Jefa yang dulunya kakak kelas Novel saat SMU, juga terkenal pintar.
"Jef, kamu nggak mau ketemu Adam?" Tanya Novel dalam hati seraya memperhatikan Novel yang sedang tertidur pulas.
***
Hujan deras mengguyur rumah kontrakkan miliknya, dan rumah-rumah juga tempat-tempat di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Novel sedang asyik mengetik cerita di komputer bututnya yang dia beli beberapa waktu lalu dari seorang teman lama. Sudah sejak SD dia ingin bercita-cita menjadi penulis novel. Sama seperti namanya.
"Alhamdulilah, udah dihalaman 50." Katanya yang lalu meneguk teh hangatnya.
Tiba-tiba Adam muncul dari belakangnya. "Mama bikin apa?"
"Mama lagi ngetik cerita. Nah, nanti ceritanya Mama kirim ke penerbit. Kalo diterima, kita bisa dapet uang yang banyak sayang."
"Kalo nggak diterima gimana, Ma?"
"Yaaaaa... Nanti Mama bikin lagi. Sampe akhirnya Mama bisa jadi penulis."
***
Matahari bersinar cerah. Hanya ada sedikit gumpalan awan di langit. Novel berniat mengajak Adam jalan-jalan menelusuri kota Bogor.
"Mama..."
"Iya, Sayang?"
"Liat deh, Ma."
Adam menunjuk seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya sedang bercanda-canda dengan kedua orang tuanya. Novel tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba seorang laki-laki menepuk bahunya. Novel pun menoleh. "Lho? Randy?" Ternyata laki-laki itu teman sekelasnya saat SMP kelas 3.
"Lo masih inget gue, Vel?" Tanya teman lamanya pada Novel. "Gue denger-denger lo udah nikah sama Jefa dan punya anak ya?"
"Iya. Nih anak gue." Ucap Novel.
"Siapa namamu?" Randy berjongkok, lalu memegang bahu Adam.
"Adam, om." Jawab Adam, lalu menoleh ke Mamanya, "Ma, Adam mau main sama anak tadi itu, Ma. Tadi dia senyum-senyum ke Adam."
***
13 November 2010, saat Novel menyelesaikan tulisannya di halaman terakhir, tepat di halaman 180, komputer butut miliknya rusak. Dia tidak bisa membayangkan kalau semua pekerjaannya hilang begitu saja. Pekerjaannya tidak pernah dia backup. Komputer itu harus segera diperbaiki sebelum makin parah. Tapi sayangnya dia tidak punya uang. Uang simpanannya akan ia gunakan untuk bayaran sekolah Adam dan modal warungnya.
Hari ini kebetulan Randy sedang berkunjung. Adam meminta Randy mengantarnya main bola di Senayan. Saat itu Randy diminta tolong oleh Novel untuk memeriksa komputernya yang bermasalah.
"Harus diapain, ya, Ran?"
"Vel, kalo data-data lo ilang semua gimana?" Randy bertanya hati-hati.
"Kok... bisa ilang?" Novel sedikit panik karenanya.
"Komputer lo errornya udah parah banget. Mau gue install ulang."
"Jadi... gue nggak punya pilihan?"
"Iya, Vel."
"Ya udah, deh. Nggak apa-apa."
Benar-benar tidak ada pilihan. Kali ini, Novel harus bersabar karena apa yang dia kerjakan ternyata sia-sia, dan harus mengulangnya dari awal lagi. Novel bukanlah orang yang cepat putus asa. Setelah itu pun, Randy pergi bersama Adam. Adam ingin ikut bermain bola bersama teman-temannya di acara pemerintah kota yang diadakan di Senayan.
***
Pukul sembilan malam, Adam baru pulang bersama Randy. Adam terlihat kelelahan, tapi sepertinya dia begitu menikmati jalan-jalannya. Randy juga membawakan oleh-oleh untuk Novel, dengan pesan agar Novel menyentuh tas-tas belanjaan itu besok pagi. Randy meminta Adam untuk merahasiakan apa saja yang ia lakukan dengan Randy. Seperti teman. Keduanya sudah sangat akrab.
"Lo nggak ngasih gue barang aneh-aneh kan?" Tanya Novel penuh selidik.
"Aneh gimana?"
"Ya... itu tas belanjanya sampe ada lima begitu. Mana gede-gede banget."
"Rahasia!" Seperti tujuh tahun lalu, Randy suka menjulurkan lidahnya ketika sedang mengusili dirinya.
***
Keesokan harinya Novel terbangun dan sangat terkejut begitu melihat kamarnya bertaburan bunga Mawar. Tiba-tiba Adam naik ke tempat tidur dan mencium pipi Novel seraya memberikan sebuah kotak kecil terbungkus kertas kado bernuansa Pink.
"Mama, selamat ulang tahun, ya, Ma."
Novel langsung duduk dan menatap anaknya dengan tatapan terharu. "Adam ingat ulang tahun Mama?"
"Iya dong, Ma."
Novel pun memeluk Adam. Tak menyangka anaknya akan memberikan kejutan untuknya. Ini pertama kalinya Adam memberikan hadiah untuknya. Novel membuka bungkusan itu, dan mendapati beberapa pulpen, pensil, penghapus dan tipe-x yang tergulung jadi satu dalam sebuah kotak.
"Mama suka nggak?"
"Suka banget kok sayang." Benar-benar tidak menyangka kalau Adam ternyata memperhatikan hobi Mamanya. Adam tahu apa yang Novel butuhkan.
"Ma, keluar yuk." Kemudian Adam menarik tangan Novel. Dia menunjuk tas-tas belanjaan yang dia beli beli bersama Randy. "Yang itu belum dibuka, Ma."
Benar juga. Hampir saja dia melupakan barang-barang ini. Segera ia buka satu persatu. Betapa kagetnya dia begitu melihat netbook berwarna pink tergeletak rapi disana dalam kotak kardus. Dibuka lagi tas belanjaan berikutnya. Seperangkat pernak-pernik netbook, mulai dari mouse lucu, ear phone, dan tidak kelupaan modem juga ada disana. Beberapa tas belanjaan yang lain ternyata berisi dress cantik, high heels, kalung, gelang dan cincin.
Terlalu berlebihan, buru-buru Novel menelepon Randy. Novel banyak-banyak berterima kasih padanya. Novel tidak menolak semua ini karena dia tahu, kalau barang-barang yang Randy beli tidak akan membuatnya jatuh miskin. Tak lupa juga Randy mengucapkan selamat hari ulang tahun untuknya. Novel jadi semakin semangat mengerjakan novelnya. Meskipun baru di halaman 15, dia tidak akan menyerah menyelesaikannya. Demi Adam dan Randy.
***
Saat sedang membayangkan bagaimana kelanjutan naskahnya, Novel teringat pada kedua orang tuanya, pada semua keluarganya. Satu kalimat terus terngiang di telinganya, "Kamu bukan anak Mama lagi!" Mamanya Novel meneriakinya. Sudah lama. Jauh sebelum Adam lahir. Tapi Novel masih merasakan kepedihannya.
Lalu ada suara lain lagi yang tiba-tiba muncul dalam keheningan, "Masih kecil udah gendong bayi. Kasihan anaknya."
Belum lagi, cibiran-cibiran dari tetangga di rumah Novel yang dulu, rumah dimana Novel tinggal bersama keluarganya.
"Jeng Naura, anaknya nggak dijaga, ya, sampe hamil begitu?" Tanya para tetangga beberapa tahun lalu pada Mamanya Novel.
Ada suara yang lain lagi, datangnya dari kakak kelas Novel yang membencinya karena ditolak cintanya oleh Jefa. "Oh si anak kelas satu yang ikut mading itu... dikeluarin? Bagus deh."
Pikirannya semakin melayang jauh. Suara-suara itu membuatnya limbung. Kepalanya sakit dan dia memilih untuk beristirahat.
***
Awal Februari pun tiba. Novel begitu semangat menanti hari ini. Siang ini dia akan mengirimkan novel yang dibuatnya ke sebuah penerbit. Kalau saja bisa dikirimkan lewat e-mail, pasti Novel lebih memilih cara itu daripada langsung datang ke penerbitnya. Mendatangi tempat itu membuat Novel merasa nervous berlebihan.
Karyawan disana mengatakan bahwa print-out novelnya akan dikoreksi selama empat sampai lima bulan. Kalau tidak bisa diterbitkan, karyanya akan dikembalikan. Sepulangnya dari sana, Novel terus berdoa agar tulisannya bisa diterbitkan. Adam juga mendoakan Novel secara diam-diam.
Hingga hari itu datang. Akhir Juli 2011, Novel mendapatkan telepon dari penerbit yang pernah dia kirimi naskahnya. Ternyata Novel diminta datang kesana lagi untuk informasi yang lengkap selanjutnya, karena bukunya layak untuk diterbitkan.
Setelah buku itu terbit, Novel menarik minat pembaca lewat akun twitter dan blog pribadinya. Beberapa tertarik. Yang sudah baca bukunya, merekomendasikannya lagi kepada teman-temannya. Sampai akhirnya buku itu menjadi best seller karena digandrungi para ABG. Ada ABG di twitter mengatakan, "Nggak punya bukunya, nggak gaul!" Novel hanya tersenyum melihat komentar itu.
***
Sukses menggapai impiannya, pertengahan Januari 2012, Novel diundang sebuah Universitas sebagai pemberi materi yang di lain sisi juga sebagai motivator dalam seminar seputar sastra.
Novelia Mentari, wanita muda berbakat dengan latar belakang yang kurang baik, kini menjadi penulis terkenal. Di lain sisi Novel sadar, karyanya memang tidak ada apa-apanya bagi setiap orang yang membacanya. Tapi Novel yakin dirinya mampu menyampaikan beberapa pesan yang terkemas dalam kalimat-kalimat yang ringan dan mudah dipahami remaja.
Novel berharap bukunya mampu mengubah cara pandang remaja menghadapi perubahan zaman, terutama dalam memaknai cinta. Kepopularitasan Novel ternyata terdengar sampai ke telinga Jefa. Lewat social networknya, twitter, Jefa ternyata mencarinya.
Jefa sempat bertanya pada Novel lewat telepon, "Kamu bikin cerita tentang apa? Aku belum sempet membacanya."
"Tentang aku. Tentang kamu. Tentang... kita."
***
Rumah baru, kehidupan yang baru, cerita yang baru, kini telah dimulai. Rumah itu masih berada dekat dengan rumah kecil lamanya. Hanya saja, yang ini sangat jauh perbedaannya. Dari bentuk dan juga ukurannya.
Jefa kini sudah menikahi Novel lagi beberapa minggu sebelumnya. Tidak ada alasan bagi Novel untuk menolak kedatangannya. Dan untuk sahabatnya, Randy, lagi-lagi dia harus merelakan Novel untuk Jefa. Tapi Randy tidak pernah mendendam. Dia tulus dengan apa yang sudah dia berikan pada Novel dan Adam. Bagi Randy, cinta tidak harus memiliki, itu benar.
Sebuah mobil yang terdengar dari kejauhan, berhenti di depan rumah Novel. Adam berlari keluar rumah dan buru-buru membuka pintu. Senyum lebar mengembang diantara kedua pipi tembemnya. Kata yang selalu ingin diucapkannya. Kata yang selama ini baru beberapa kali dia ucapkan. Papa. Iya, Papa. Begitu Jefa turun dari mobil, Adam langsung memeluknya.
"Papaaaaa...!!!"
"Adam, coba lihat Papa bawa apa?" Tanyanya pada Adam sambil memperlihatkan sebuah kantung belanjaan berwarna putih.
Mulut Adam terbuka lebar membentuk huruf O. "Wooow... Ini apa, Pa?"
"Buka aja isinya. Mama ada kan Adam?"
Jefa mencari-cari Novel di dalam rumah bernuansa biru itu. Dia pun menemukan perempuan yang dicarinya di ruang makan. "Novel..."
Novel menoleh kaget. Secepat ini perjalanan dari bandara ke rumahnya. "Kamu udah dateng... Cepet banget."
Jefa memeluk Novel dari belakang. Jefa masih ingat betul kalau Novel senang dipeluk dari belakang. Jefa membisikkan sesuatu...
"Kamu akan selalu jadi matahariku, cerita indahku bersamamu, tentang Adam kita, semuanya... aku hanya ingin... bahagia bersama kalian."
No comments:
Post a Comment