Sunday, April 1, 2012

Cerpen : @risdaaaR

Jutaan bintang yang bersinar malam ini tetap setia menemani Discha di kegelapan malam. Gadis cantik ini gemar sekali melihat bintang. Menurutnya, bintang itu memang hanya setitik sinar putih yang bersinar di gelapnya langit malam tapi justru disitulah keistimewaannya. Baginya, bintang-bintang itu seperti lampu, jika ia padam, maka hanya kegelapanlah yang bisa kita lihat. Jika ia padam, kita tidak akan pernah bisa melakukan sesuatu dengan sempurna. Dan jika ia padam, yang dapat kita lihat hanyalah hitam.
Discha sedang berkutat dengan laptopnya dibawah kilauan sinar bintang ketika tiba-tiba ada tangan seseorang sedang memeluknya dari belakang.
“Fata” seru Discha sambil tersenyum dan menoleh untuk melihat wajah pria yang dipanggilnya Fata itu. Namanya Fatra, tapi Discha lebih senang memanggilnya Fata.
Fatra balas tersenyum. “Kamu lagi nulis ya? Maaf ya, aku ganggu kamu lagi” ucap Fatra sedikit menyesal karena telah memotong waktu Discha untuk menulis.
“Nggak kok. Aku memang lagi nulis, tapi sekarang sudah selesai” jawab Discha sambil tetap memasang senyum manis diwajahnya dan kemudian menutup laptopnya. Discha memang sangat menyukai menulis. Ia selalu menyempatkan waktu senggangnya untuk menulis cerita apa saja yang ada di pikirannya. Sudah sangat banyak naskah novelnya yang tersimpan di rumahnya. Hanya tersimpan di rumah, tanpa mencoba untuk mengirimkannya ke penerbit ataupun memperlihatkan kepada teman-temannnya. Hanya Fatra dan Vana –sahabatnya  yang selama ini selalu setia membaca dan memberi komentar pada setiap naskah yang selesai Discha buat, terlebih karena hanya mereka berdua yang ia izinkan untuk membacanya. Bukan karena ia takut dan bukan pula karena ia minder, melainkan karena ia tidak pernah mendapat restu dari mamanya untuk menjadi seorang penulis walaupun dalam hatinya tersimpan keinginan yang begitu besar untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis. Namun, semua itu tidak membuatnya patah semangat dan memutuskan untuk berhenti menulis. Ia tetap menulis dan berharap suatu saat mamanya akan menyetujuinya untuk menjadi seorang penulis.
“Oh ya? Boleh aku liat?” tanya Fatra dengan wajah yang cerah. Ia memang sangat suka membaca hasil karya Discha. Menurutnya, semua karya Discha sangat menarik. Cerita yang dibawakan Discha bukan hanya sekedar memiliki nyawa tetapi nyawa yang diberikan dalam cerita itu sangat aktif dan berwarna.
“Tentu aja boleh, tapi jangan sekarang ya! Aku lagi pengen keluar, kamu mau kan nemenin aku?” Discha menatap Fatra dengan pandangan memohon.
“Tapi ini sudah jam sembilan malam Dis” jawab Fatra sambil melihat jam tangan di tangan kirinya.
“Ya, aku tau. Tapi aku tetap mau keluar, aku bosan di rumah. Mama juga lagi ke rumah tante Ana.  Anterin aku ya? Please” mohon Discha.
“Oke. Kamu mau kemana?”
●●●
Discha dan Fatra sampai di dalam sebuah hutan yang letaknya sangat jauh dari pusat kota. Sebenarnya Fatra sempat memprotes keinginan Discha untuk pergi kesini pada malam hari, tetapi ia sangat tau bahwa Discha bukanlah orang yang mudah untuk dibantah terlebih jika ia ingin ke hutan ini. Jika Fatra tetap tidak mengantarkan Discha ke hutan ini, maka tanpa ragu Discha akan pergi kesini sendiri walaupun waktu telah menunjukkan tengah malam sekalipun. Hutan ini memang hutan yang sama dengan hutan yang kita tahu, tetapi di dalamnya ada sebuah tanah lapang yang sangat luas, dan disanalah tempat favorit Discha untuk beristirahat. Discha bisa menghabiskan waktunya seharian disini hanya untuk menenangkan pikirannya. Ia sangat menyukai tempat ini. Menikmati setiap kesunyian yang tercipta dari tenangnya hutan ini. Discha menamakan hutan ini dengan nama Hutan Bintang.
Discha dan Fatra sedang berbaring di tengah tanah lapang itu dengan beralaskan rumput. Memandang jutaan bintang yang terhampar dihadapan mereka.
“Fata”
“Hm”
“Kamu mau nggak aku ajak ngeliat kolong langit?”
“Kolong langit?”
Discha tersenyum dan mulai menjelaskan kepada Fatra “Dulu aku pernah nonton sinetron. Salah satu tokoh di sinetron itu pernah bilang kalau sebenarnya kita itu bisa ngeliat kolong langit. Awalnya aku juga sempat bingung tapi setelah mendengar penjelasannya, rasa bingung aku itu berubah jadi rasa penasaran” Discha berhenti sebentar, menutup matanya sejenak, menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Ia membuka matanya kembali dan berkata, “Sekarang aku udah ada di kolong langit. Sejak nonton sinetron itu, aku selalu ngelakuin ini. Aku selalu senang bisa ngeliat kolong langit, apalagi saat langit sedang ditaburi bintang-bintang seperti ini”
Fatra semakin bingung. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud Discha dengan “Kolong langit”. Discha hanya berkata bahwa ia bisa melihat Kolong langit dan sesaat kemudian ia berkata bahwa ia telah ada di Kolong langit padahal sama sekali tidak ada gerakan yang dilakukan gadis itu kecuali menutup matanya sejenak dan membukanya kembali.
“Bingung ya?” tanya Discha tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.
“Aku bingung banget. Maksud kamu gimana sih?”
“Ikutin perintah aku ya! Tutup mata kamu dan bayangkan kalau langit yang ada di atas kita ini ada di hadapan kamu, tepat di depan mata kamu” Fatra menuruti perintah Discha. “Udah bisa bayangin?”
“Ya”
Discha tersenyum dan kembali berkata “Buka mata kamu!” Fatra membuka matanya dan terdiam beberapa saat. “Apa yang kamu liat?”
“Langit... tepat di hadapan aku.” Jawab Fatra takjub. “Jadi ini yang dimaksud kolong langit?”
“Iya. Indah banget kan?” Wajah Discha sangat berseri-seri ketika mengatakan ini.
“Sangat” Fatra tersenyum, membuat Discha tidak tahan untuk menahan senyumnya.
“Aku senang bisa ada disini, karena kalau aku ada disini, aku selalu bisa bebas bermimpi. Membayangkan apa yang selama ini selalu aku inginkan” Discha tersenyum. “Kamu tau hal apa yang selama ini selalu aku bayangkan?”
Fatra ikut tersenyum dan kemudian menjawab, “Melihat orang-orang sedang mengantri di kasir toko buku sambil membawa novelmu?”
Discha tersenyum semakin lebar. “Kamu selalu tau apa yang aku inginkan”
“Ya... karena kamu adalah jiwaku” Fatra menatap Discha dengan mata yang sangat jelas menunjukkan apa yang dirasakannya. Cinta.
●●●
“Discha” Discha menoleh ke arah suara dan mendapati sahabatnya, Vana sedang berlari-lari kecil ke arahnya.
“Hai Van. Semangat banget lo kayaknya, ada apaan?” Discha merangkul sahabatnya itu ketika ia sudah ada disampingnya.
“Gue punya kabar bagus buat lo” kata Vana sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat berlari tadi.
“Apaan?”
“Beliin gue minum dulu gih! Capek gue lari-lari buat ngejar lo”
“Lha? Emang gue ada nyuruh lo buat ngejar gue? Udah deh! Apaan beritanya?”
Vana bergumam tidak jelas sambil memanyunkan bibirnya sebelum berkata, “Kemaren gue sempat baca, ada salah satu penerbit yang lagi bikin lomba menulis novel tentang ibu dalam rangka menyambut hari ibu. Deadline nya sehari sebelum hari ibu, dan itu artinya masih 3 bulan lagi. Kalau lo ikut, gue yakin lo pasti bisa menang” Vana sangat bersemangat ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Van, lo tau kan alasan gue yang sampai sekarang belum nyoba buat ngirim naskah gue ke penerbit?” Wajah Discha berubah murung.
“Gue tau Dis, maaf sebelumnya tapi justru itu yang mau gue omongin sama lo sekarang” Vana duduk di kursinya ketika mereka telah sampai di kelas, di ikuti Discha yang duduk di sebelahnya.
“Jadi lo punya saran buat gue? Menurut lo gimana?” Discha menatap Vana dengan pandangan yang berarti ia sangat mengharapkan bantuan dari Fana.
“Sebenarnya gue juga bingung Dis. Gue tau lo sayang banget sama nyokap lo dan sangat menghormati beliau, tapi apa lo nggak mau berusaha buat bilang perasaan lo yang sebenernya Dis? Maksud gue, seenggaknya lo coba bilang kalau menjadi penulis itu adalah impian terbesar lo. Gue tau lo anak satu-satunya dan otomatis Cuma elo yang diharapkan untuk bisa meneruskan usaha nyokap lo tapi menurut gue, lo bisa kan tetap menulis sambil mengurus usaha nyokap lo. Gue tau ini pasti bakalan susah buat lo. Mungkin lo pikir ide gue ini gila, nggak ngebantu, atau apapun tapi lo tau gue kan, gue emang nggak berbakat ngasih saran buat beginian tapi seenggaknya lo bisa coba dan ngomongin ini ke nyokap lo”
“Lo bener juga Van. Kenapa gue nggak pernah kepikiran ya? Gue tau pekerjaan nyokap gue dan menurut gue itu nggak terlalu susah. Gue masih bisa nulis walaupun gue harus ngurusin usaha nyokap gue. Gue bakal coba ngomongin ini ke nyokap gue. Makasih ya Vana sayaanng” Discha memeluk Vana dengan penuh kehangatan persahabatan yang dibalas Vana dengan suka cita.
●●●
Discha sedang makan malam dengan mamanya. Ia berpikir bahwa ini adalah saat yang tepat baginya untuk mengungkapkan semua apa yang di bicarakannya dengan Vana tadi pagi.
“Ma “ Discha menatap mamanya dengan sedikit ragu.
“Ya? Ada apa?” Mamanya juga ikut menatapnya.
“Emm.. Discha mau ngomong sesuatu, tapi sebelumnya Discha mau minta maaf. Bukannya Discha bermaksud nggak menghargai mama, tapi...Discha rasa, Discha tetap ingin jadi penulis ma. Discha tau mama menginginkan Discha untuk meneruskan usaha mama. Discha janji akan berusaha untuk meneruskan usaha mama tapi Discha juga akan tetap memilih menjadi penulis sebagai pekerjaan Discha yang lain. Emm.. mama.. izinin Discha ?”
Mama Discha terdiam beberapa saat sebelum berkata “Kamu dengar Discha! Mama nggak merestui kamu menjadi penulis bukan hanya karena semata-mata mama ingin kamu meneruskan usaha mama. Mama memang ingin kamu meneruskan usaha mama tapi itu semua juga buat kamu, bukan karena mama hanya mementingkan usaha mama. Mama ingin hidup kamu itu pasti Discha, bukannya mengharapkan sesuatu yang belum tentu membuat kamu menjadi lebih baik”
“Tapi ma, menulis itu hidup Discha. Discha bisa menjadi jauh lebih baik kalau Discha menulis...”
“Sudahlah Discha! Mama ingin istirahat”
Discha hanya bisa termenung sedih melihat mamanya pergi ke kamarnya tanpa memberi restu kepada Discha untuk mencapai impiannya.
●●●
Sudah beberapa hari ini Discha tidak keluar rumah kecuali ke sekolahnya. Discha merasa telah kehilangan sebagian jiwanya. Ia memang masih menulis, tetapi ia sudah kehilangan kepercayaannya bahwa suatu saat nanti ia bisa menjadi penulis. Setiap ia menulis, ia selalu bertanya-tanya tentang kemungkinan apakah cerita yang selama ini selalu dibuatnya bisa dibaca oleh orang banyak. Hal ini membuatnya sangat sedih, bahkan Fatra sekalipun tidak bisa mengembalikan semangat Discha seutuhnya.
Hari ini Discha hanya berdiam diri sendiri di rumahnya. Mamanya sedang pergi keluar untuk mengurusi usahanya. Ia berniat membaca novel-novel yang ada di perpustakaan kecil di rumahnya. Sebenarnya ia ingin menulis tetapi suasana hatinya yang kurang baik membuat ia kehilangan inspirasinya.
Siang ini Discha sudah menghabiskan beberapa novel. Saat ia sedang mencari-cari novel yang akan dibaca selanjutnya, tiba-tiba ia melihat sebuah novel yang sangat asing di matanya. Sepertinya ia sama sekali tidak pernah melihat novel ini sebelumnya. Saat sedang melihat-lihat novel tersebut, tiba-tiba matanya terbelalak melihat sesuatu yang ada di novel itu...
●●●
“Mama” panggil Discha ketika mamanya telah memasuki rumah.
“Ada apa Dis? Kalau kamu ingin membicarakan soal itu lagi..”
“Kali ini aja kasih kesempatan ke Discha, ma! Discha mau tanya.. soal ini” Discha memperlihatkan novel yang di temukannya di perpustaan kecilnya tadi siang kepada mamanya.
Mama Discha terlihat kaget tapi sesaat kemudian ekspresi wajahnya kembali normal. “Dari mana kamu dapatkan buku itu?”
“Tadi siang Discha nemuin ini di perpustakaan. Sekarang Discha mohon, jelasin ke Discha tentang semua ini”
“Semua itu nggak penting Discha”
“Tapi bagi Discha ini penting, ma. Sangat penting. Kenapa mama nggak bolehin Discha jadi penulis sementara mama, tanpa sepengetahuan Discha pernah menjadi penulis. Kenapa mama nutupin semua ini dari Discha? Apa lagi yang nggak Discha tau soal mama?”
“Maafin mama Discha, tapi semua ini...” Mama Discha hanya menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Discha.
“Mama tau kan penulis itu impian terbesar Discha. Selama ini mama nggak pernah menyetujui Discha menjadi penulis tanpa alasan yang jelas. Discha mau tau ma, Discha mau tau kenapa mama nggak pernah menyetujui Discha menjadi penulis dan Discha juga mau tau kenapa mama nggak pernah pernah bilang ke Discha kalau mama adalah.. seorang penulis”
●●●
 Semalaman ini Discha hanya menangis di kamarnya. Ia mengingat kembali semua cerita yang di ceritakan oleh mamanya. Mulai dari betapa mamanya sama seperti Discha, sangat menginginkan menjadi seorang penulis. Karena kegigihan dirinya, mamanya sempat menjadi penulis yang sangat sukses di usianya yang masih sangat muda, pada masa itu umur beliau masih sekitar 17 tahun. Setelah menikah, mamanya masih sangat gemar menyalurkan hobby menulisnya itu, bahkan hampir semua waktunya di luangkan untuk menulis. Papa Discha mulai jenuh dengan sikap mamanya yang menurutnya kurang perhatian itu sampai pada akhirnya mama Discha memergoki papa Discha sedang berselingkuh dengan wanita lain di kantornya. Mama Discha datang ke kantor papanya untuk memberitahukan bahwa ia sedang mengandung, tetapi setelah melihat sesuatu yang tidak pernah di duganya, ia mengurungkan niatnya untuk memberitahu suaminya tentang kehamilannya itu. Mama Discha sangat terpukul akan hal ini dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Sejak mama Discha mengetahui alasan papa Discha mengapa ia sampai berselingkuh, ia semakin terpukul. Ya, alasannya karena mama Discha terlalu banyak menulis dan melupakan segala hal yang ada di sekelilingnya. Sejak saat itu, mama Discha mulai trauma dengan dunia menulis. Ia mencoba untuk melupakan kegemarannya untuk menulis dan memulai hidup baru dengan merintis usaha yang di milikinya ini dari nol.
Discha sama sekali tidak menyangka bahwa itu lah alasan mamanya selalu menolak memberi izin kepada Discha untuk menjadi seorang penulis. Selama ini ia selalu mengira bahwa semua ini dilakukan mamanya agar ia dapat meneruskan usaha mamanya. Ternyata ia salah, salah besar. Tapi setelah mamanya memberitahu semua alasannya, Discha jadi semakin bingung. Di satu sisi, ia sangat ingin mengikuti semua keinginan mamanya, ia tidak ingin melihat mamanya sedih. Tetapi disisi yang lain, di hati kecilnya, ia masih sangat ingin mewujudkan mimpinya untuk menjadi seorang penulis.
Selama beberapa saat ini Discha masih bingung dengan keputusannya. Ia masih belum bisa memutuskan untuk mengikuti keinginan mamanya atau memaksakan keinginannya untuk menjadi seorang penulis. Sampai suatu ketika, saat berada di ruang kerja mamanya, ia menemukan sebuah kertas yang isinya membuat ia sangat terkejut.
●●●
Sudah beberapa bulan ini Discha hidup seperti mayat hidup. Dulu, ia berpikir bahwa jika ia mengetahui alasan mamanya yang tidak mendukungnya menjadi seorang penulis ia akan menjadi lebih baik tetapi kenyataannya, keadaannya jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ia benar-benar kehilangan jiwanya. Tidak ada lagi menulis. Tidak ada lagi membaca. Tidak ada lagi berangan-angan. Hanya diam. Hanya ada kesunyian.
“Discha..” panggil Fatra lembut. “Aku nggak maksa kamu buat cerita, tapi kalau kamu mau cerita, aku pasti akan selalu siap buat dengerin cerita kamu kapanpun kamu mau” Fatra mengelus rambut Discha dengan penuh kasih sayang.
Fatra dan Discha saat ini sedang ada di hutan Bintang. Awalnya Discha hanya ingin berdiam diri di kamarnya tetapi setelah Fatra mengajaknya kesini, ia tidak ingin menolak.
Mereka tidak mengeluarkan sepatah katapun setelah itu, sampai akhirnya Discha memecah keheningan dengan suaranya.
“Aku... takut” Discha mengucapkan dengan sangat lirih. Fatra nyaris tidak mendengar jika ia tidak berada sangat dekat dengan Discha.
Fatra menunggu Discha mengeluarkan kata-kata selanjutnya.
“Aku takut kehilangan mama” Kali ini Discha mengucapkannya sambil menoleh ke arah Fatra. Air mata yang sejak tadi ditahannya tumpah sudah tanpa bisa dihentikan. Ia menangis di pelukan Fatra.
Setelah Discha sudah mulai tenang, di tumpahkannya semua yang ada di pikirannya selama ini. Mulai dari percakapannya dengan mamanya saat di meja makan sampai saat ia mendengarkan alasan mamanya yang selama ini tidak pernah mendukungnya untuk menjadi penulis. Tidak ada lagi yang ia tutupi. Tapi kalimat selanjutnya yang di ucapkan Discha sempat membuatnya tercengang.
“Mama... sakit... leukemia... stadium akhir” Beberapa patah kata yang di ucapkan Discha dengan susah payah, yang di ucapkannya bersamaan dengan betapa derasnya air mata yang tumpah di pipinya.
Fatra sempat kaget saat mendengarnya, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya mengusap-usap punggung gadisnya itu untuk menenangkannya, tanpa ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya karena ia tahu, saat sedang seperti ini, yang dibutuhkan Discha hanyalah ketenangan.
●●●
Hari ini discha kembali mengunjungi mamanya di rumah sakit. Sudah sebulan ini mamanya rutin melakukan kemoterapi. Beberapa kali Discha dengar bahwa banyak orang yang tidak tahan dengan sakitnya saat menjalani kemoterapi, tetapi selama ini mamanya masih bisa bertahan, setidaknya mamanya masih ingin bertahan.. untuk Discha, yang selalu menyemangatinya. Sebenarnya masih ada kemungkinan mamanya bisa sembuh yaitu dengan mencari donor sumsum tulang belakang yang cocok untuk mamanya. Saat mendengar itu, Discha senang sekali, bahkan hari itu juga ia meminta dokter untuk memeriksa apakah sumsum tulang belakangnya cocok dengan mamanya. Tapi ternyata ia harus menelan kekecewaannya sendiri karena ternyata hasilnya menyatakan bahwa sumsum tulang belakangnya dengan mamanya tidak cocok.
Discha tidak patah semangat. Ia masih selalu mencoba mencari orang yang sumsum tulang belakangnya cocok dengan mamanya dan tentunya yang rela mendonorkannya.
Discha membuka pintu kamar rawat mamanya. Ia masuk ke dalam dan ikut tersenyum ketika melihat mamanya tersenyum kepadanya.
“Mama” Discha memeluk dan mencium mamanya. “Hari ini Discha masakin ini buat mama, mama makan ya” Discha memperlihatkan kotak makanan yang dibawanya sejak tadi. Mamanya memang tidak menyukai masakan rumah sakit. Yah, sebenarnya memang hampir tidak ada pasien yang menyukai masakan rumah sakit. Mamanya selalu menolak makan jika suster rumah sakit ini membawakan makanan. Jadi, Discha selalu membawakan makanan buatannya sendiri untuk mamanya.
“Discha” mamanya memanggil Discha dengan suara yang sangat lemah.
“Iya ma? Mama makan dulu ya!” kata Discha sambil bersiap untuk menyuapi mamanya.
“Discha, mama minta maaf” Discha yang tidak mengerti maksud mamanya, menaruh lagi makanan yang sedang di pegangnya. Ia merasa mamanya ingin mengucapkan sesuatu yang sangat serius.
“Maaf buat apa, ma?” Discha bertanya sambil mengerutkan keningnya.
“Maafin mama karena selama ini mama selalu menghalangi jalanmu untuk mengejar impianmu,” Discha menunggu dengan sabar apa yang akan di katakan mamanya selanjutnya. “Mama memang bukan ibu yang baik, mama egois. Mama tidak memikirkan bagaimana perasaanmu. Mama sudah pikirkan ini semua. Tidak seharusnya mama melarangmu untuk mencapai impianmu hanya karena masa lalu mama” Mamanya terlihat sangat merasa bersalah.
“Mama, Discha nggak papa kok. Discha senang bisa mengikuti keinginan mama. Discha senang kalau mama bahagia” Discha tersenyum untuk menenangkan mamanya.
“Discha, teruskanlah!”
“Hm? Maksud mama...”
“Ya, teruskanlah jalanmu untuk mencapai impianmu! Apapun itu, mama akan mendukungmu. Teruslah menulis, Discha!”
●●●
Sudah setahun waktu berlalu sejak Discha di tinggalkan mamanya. Ia sudah kuliah di salah satu Universitas di Indonesia. Ia mencukupi hidupnya dengan usaha yang di tinggalkan mamanya. Ia mengurus semuanya dengan baik. Ia juga masih menjaga hubungannya dengan Fatra dengan sangat baik. Dan persahabatannya dengan Vana pun bertambah hangat.
Hari ini ia berniat untuk mengunjungi makam mamanya, sendirian. Kali ini ia hanya ingin berdua dengan mamanya.
Ketika ia sampai, ia berlutut di samping nisan mamanya.
“Mama.. Discha datang, ma. Mama apa kabar? Kabar Discha disini sangat baik, ma. Discha yakin mama tau akan hal itu, mama pasti selama ini selalu ada di dekat Discha kan? Karena Discha selalu ngerasain hal itu.” Discha tersenyum membayangkan kebenaran akan hal itu.
“Mama.. hari ini Discha mau kasih hadiah buat mama. Walaupun Discha tau, mama pasti juga sudah tau akan hal ini. Tapi Discha tetap ingin memberikan ini untuk mama” Discha mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini buat mama, novel pertama Discha. Mama tau? Novel Discha ini sekarang lagi terpampang rapi di deretan best seller” Discha tersenyum. “Saat Discha menghadiri launching novel ini, Discha sempat tanya kenapa mereka semua bisa menyukai novel Discha. Dan kebanyakan dari mereka bilang, cerita dalam novel Discha sangat menarik. Dan mama tau kenapa novel pertama Disha ini bisa menjadi sangat menarik? Karena di novel ini, Discha menuliskan semua jalan kehidupan Discha. Discha menuliskan semua cerita tentang kita. Mama, Discha, dan.. papa”
“Mama.. Sebenarnya beberapa hari yang lalu, Discha sempat ketemu dengan papa. Discha memang nggak kenal dengan papa, bahkan Discha juga nggak pernah tau nama papa. Tapi apa mungkin ini yang dinamakan takdir ya, ma?” Discha terkekeh pelan.
“Discha ketemu dengan papa di toko buku. Waktu Discha di toko buku untuk melihat orang-orang yang sedang mengantri membeli novel Discha, tiba-tiba ada orang yang bertanya apakah Discha adalah penulis yang menulis novel ini. Ya, yang bertanya itu papa. Papa bilang, dulu mama sangat ingin menamai anaknya dengan nama Discha. Karena itu, papa penasaran saat melihat nama Discha. Awalnya papa ragu kalau Discha ini memang Discha anak mama, tapi akhirnya papa tanya sama Discha siapa nama mama dan Discha pun tanpa ragu langsung menyebutkan nama mama. Papa terlihat sangat kaget bercampur senang. Dari situlah awalnya kenapa Discha bisa tau kalau itu papa Discha.”
“Setelah itu, papa mengajak Discha makan diluar. Papa banyak bercerita sama Discha, tentang mama. Papa bilang ke Discha kalau sebenarnya.. papa masih sangat mencintai mama. Setelah mama melihat kejadian itu.. papa merasa sangat bersalah. Selama ini papa selalu mencari mama. Tapi ternyata mama sudah pindah kesini. Discha sekarang baru tau kalau kita sebenarnya asli dari Jakarta ya, ma? Tapi Discha nggak mempersalahkan soal ini, Discha senang bisa tinggal disini.” Discha merasakan air matanya mulai mengalir. “Papa sudah mencari mama kemanapun, bertanya dengan keluarga mama, bertanya dengan teman-teman mama tapi nggak ada satupun yang bisa kasih tau dimana mama tinggal. Papa sudah nggak tau lagi gimana caranya buat cari mama sampai akhirnya papa ingat bahwa mama sangat suka menulis. Selama ini papa selalu pergi ke toko buku, berharap ada nama mama yang terpampang dari salah satu buku yang dilihatnya. Tapi papa nggak pernah menemukannya, karena memang mama sudah berhenti menulis.”
“Oh iya, papa bilang, secepatnya papa akan kesini. Waktu Discha bilang mama sudah ke surga, papa kelihatan sangat terpukul.” Discha terdiam sejenak “Mama, Discha boleh kan minta satu hal sama mama. Mama mau kan maafin papa? Discha tau, papa memang salah. Tapi Discha juga tau, papa benar-benar menyesal setelah melakukan itu. Discha bisa liat kalau papa benar-benar masih cinta sama mama.”
“Sebenarnya Discha mau sampaikan satu hal lagi. Mama, apa Discha boleh tinggal sama papa? Selama ini Discha memang nggak pernah kesepian karena ada mama yang selalu ada di dekat Discha. Discha juga ingin merasakan kehadiran papa. Discha tau mungkin ini berat buat mama, bagaimanapun juga papa adalah orang yang pernah menyakiti mama. Tapi, bagaimanapun juga, papa akan tetap menjadi papa Discha.” Discha menghapus air matanya.
Discha merasa hatinya sangat tenang setelah mengatakan itu semua kepada mamanya. Ia juga merasakan, bahwa mamanya menyetujuinya untuk tinggal dengan papanya. Dan Discha juga merasa bahwa sekarang, mamanya sedang tersenyum.
“Mama, novel yang sekarang Discha pegang ini, Discha buat hanya untuk mama. Khusus untuk mama. Disini Discha mencurahkan semua isi hati Discha. Semua apa yang telah terjadi di hidup Disha. Dan semua yang Discha rasakan terhadap mama. Meskipun mama telah ada di surga, tapi Discha selalu tau kalau mama akan selalu ada di hati Discha”
“ I love you, Mom”
#

No comments:

Post a Comment