IMPIAN BARU
Pundakku tiba-tiba terasa sakit. Aku menoleh ke belakang. Ah, ganggu aja nih si Dinda.
"Bu Sisi merhatiin lo terus tuh dari tadi. Mau lo disuruh ngerjain 10 soal di papan?" bisik Dinda. Wah, dia ga bohong. Bu Sisi sedang berdiri di samping papan tulis, sambil mengetuk-ngetuk lantai dengan mistar kayu raksasa di tangannya, menatapku dengan tatapan sinis sambil menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. Ih, takut! Aku langsung memamerkan senyum palsu lalu mencatat soal-soal di papan. Fisika. Udah wajah guru yang ngajar serem banget, cara mengajarnya bikin ngebosenin, lengkap deh.
Tepat setelah soal terakhir selesai kutulis, bel pulang sekolah pun berbunyi.
Aku dan Dinda sedang menunggu mamanya Dinda yang akan menjemput kami. Aku dan Dinda tetanggaan, jadi tiap hari aku pulang pergi sekolah bareng dia, diantar jemput ataupun kadang-kadang naik angkot.
"Lo tuh ya, doyan banget ngayal, terus ga pernah liat waktu sama sikon. Ckck," Dinda lagi-lagi 'berkicau' tentang kebiasaanku yang paling menyenangkan tapi menurutnya itu kebiasaan buruk.
"Lho, imajinasi kita kan perlu dikembangkan terus-menerus, Din. Kita harus terus melatih kemampuan kita dalam membayangkan sesuatu hanya di pikiran kita tanpa bisa kita liat dengan mata.." kataku membela diri, rada ngasal sih sebenarnya. Hehehe
"Ah, tapi tetap aja, liat sikon donk. Udah berapa kali lo kena marah guru karena sering ngelamun di kelas?"
"Buka ngelamun, tapi mengembangkan imajinasi.."
"Huh. Terserah lo, deh. Anw, emangnya tadi lo ngayal apa?" tanya Dinda dengan nada penasaran, akhirnya dia mengubah topik 'kicauannya'.
"Gue ngayal, lo jadian sama Kak Chris, tapi kak Chris ternyata sodaraan sama lo. Sepupuan," ceritaku dengan semangat.
"Wah, kok bisa? Gimana ceritanya tuh?" tanya Dinda dengan mata berbinar. Aku suka banget saat mata sahabatku ini berbinar karena penasaran dengan khayalanku. Aku pun menceritakannya dengan mata yang tak kalah berbinar juga dari matanya. Lebay ah. Haha
"Gini, papa lo ternyata punya adik yang dulu lari dari rumah, terus ga sengaja papa lo ketemu sama adiknya, dan adiknya udah punya keluarga. Terus......."
Jemputan kami datang. Namun pembicaraan kami belum berakhir, dan berlanjut selama perjalanan pulang.
"Si manis tukang ngayal udah datang, ya?" suara seorang cowok yang bandel, dan iseng banget, dan lumayan cakep itu, menyambutku saat tiba di kelas. Huh.
"SELAMAT PAGI, JONATHAN."
"Met pagi juga Mona," katanya dengan manis, sambil berjalan menuju tempat dudukku. Aku pura-pura cuek. Ini rahasiaku, setiap dia dekat aku, aku selalu gugup dan salah tingkah! Gimana nggak, dia mantan pacarku waktu SMP. Kami jadian 1 tahun, dan putus karena Jo selingkuh sama kakak kelas! Terus, mereka cuma jadian 3 hari, abis itu langsung putus deh! Rasain tuh. Dan setauku, dia belum punya pacar yang lain lagi setelah itu. Dia sering banget ngisengin aku. Kebiasaannya meledekku dan menggangguku lebih menjadi-jadi bahkan sampe sekarang, sampe kami udah kelas XII.
"Mon, baca nih." Jo menaruh selembar kertas, seperti pamflet, di mejaku. Aku menatapnya. Ternyata pengumuman tentang lomba menulis karya sastra, dengan kategori yang bisa dipilih yaitu novel, cerpen, atau puisi. Aku agak tertarik, tapi ga mau menunjukkannya.
"Ikut aja, Mon," sarannya. Aku menopang daguku dengan tangan, dan pura-pura cuek, namun tetap membaca apa yang tertulis di selembar kertas itu. Jo menepuk pelan puncak kepalaku, lalu berjalan keluar kelas. Aku membaca sekali lagi tulisan yang di kertas itu. Pemenangnya akan mendapat hadiah 10 juta rupiah ditambah dengan beasiswa kuliah di Universitas Indonesia. Hm, lumayan juga sih.
“Pagi. Lagi baca apa sih?” Dinda menyadarkan lamunanku. Aku menunjuk ke arah kertas tadi dengan daguku. Dinda mengambilnya dan membacanya. Tiba-tiba, dia menepuk pipiku.
“Kesempatan emas nih Mon! Lo harus ikut,” ujar Dinda sambil mencolek-colek pipiku.
“Stop colek-colek! Entar jerawat gue bisa nambah! Dan, gue ga akan ikut lomba itu.” Dinda terdiam mendengar perkataanku, dan memonyongkan bibirnya.
“Kok gitu sih Mon? Ini kesempatan bagus, lho. Lo kan punya bakat. Cerpen sama puisi lo selalu dimuat di mading. Sekarang lo harus mengepakkan sayap lo, Mon,” bujuk Dinda. Aku mengangkat alis. Cerpen dan puisi yang sering kubuat kan hanya karena iseng belaka, untuk menuangkan imajinasiku.
“Ayo dong, Mon. Masa lo sia-siain kesempatan bagus kayak gini. Kesempatan kayak ini ga akan datang dua kali Mon.”
“Mona, pokoknya lo harus ikutan. Lo pengen orangtua lo bangga kan? Iya kan? Ini dia caranya, Mon.”
Dinda tak henti-hentinya membujukku. Aku menghembuskan nafas panjang.
“Dinda, gue kan pernah bilang, gue ga akan kuliah. Gue bakal nerusin bisnis restoran kecil-kecilan ortu gue. Itu aja cukup kok buat gue.”
“Tapi kan lo sendiri kan pernah bilang kalo keluarga lo dukung banget bakat menulis lo.”
“Iya, tapi gue ga mau ngebebanin orang tua gue. Biaya kuliah kan mahal, cinta.”
“Lho, kan kalo menang bakaln dapat beasiswa. Lo ga perlu khawatir soal biaya, Mon,” kata Dinda sambil mulai mencolek pipiku lagi. Oh iya ya. Aku pun terdiam. Ini memang kesempatan bagus. Tapi, keinginanku sekarang adalah setelah lulus nanti aku akan membantu orangtuaku di restoran kecil-kecilan kami, bukan kuliah. Aku tidak terlalu ingin kuliah. Sungguh. Aku hanya ingin mengurangi beban orangtuaku. Kalo aku kuliah, meskipun dapat beasiswa, waktuku untuk membantu orangtuaku jadi berkurang, bahkan mungkin sangat sedikit. Kakakku sudah menikah dan tinggal di luar kota, adikku masih kelas 3 SD. Kuliah, apalagi menjadi penulis, belum jadi mimpiku saat ini.
Saat tiba di rumah, seluruh duniaku seperti hancur berkeping-keping. Papa meninggal karena kecelakaan. Dan sejak hari itu, kehidupanku berubah. Benar-benar berubah. Kecuali satu, keinginanku untuk membantu mama sepenuhnya dan tidak kuliah.
Dari pagi hari hingga sore, cuaca terus saja mendung. Dan malam ini, hujan pun turun. Aku baru selesai mandi. Beberapa menit kemudian, mama memanggilku. Katanya, Dinda datang mencariku. Dengan santai aku memakai pakaianku, menyisir rambutku, dan mengoleskan lotion malam di kulitku. Setelah itu, aku menuju ruang tamu. Kulihat, Dinda seperti sedang menjelaskan sesuatu yang penting pada mamaku, sambil memegang selembar kertas yang diberikan Jo sebulan yang lalu.
“Lagi ngapain, Din?” tanyaku heran. Dinda tak menjawab.
“Duduk sini, Mon,” panggil mamaku. Aku pun duduk disamping Dinda, berhadapan dengan mama. Kenapa sih? Wajah mama kayaknya bersinar, deh.
“Mona, kamu akan ikut lomba ini kan?” tanya mama girang.
“Siapa bilang? Ga kok,” jawabku tenang. Ekspresi mama langsung berubah sedih. Tiba-tiba mama memegang tanganku.
“Mona, kamu harus ikut. Ini kesempatan kamu untuk meraih cita-cita kamu. Mama tau banget kamu senang sekali menulis.” Mama mulai membujukku.
“Ma, cita-cita Mona, setelah lulus Mona akan 100 persen bantuin mama cari nafkah. Buat apa Mona kuliah? Buang-buang waktu aja,” kataku pelan.
“Kuliah ga buang-buang waktu, Mon. Lo nyari ilmu, buat masa depan lo,” ujar Dinda. Aku menatapnya dengan tatapan tidak senang.
“Lo ngomong apa aja sama mama gue, Din?” tanyaku agak sinis. Dinda terdiam. Aku membayangkan apa yang dikatannya pasti mirip dengan kata-katanya padaku sebulan lalu, saat dia berusaha membujukku untuk ikut lomba ini.
“Mona, ini demi masa depan kamu. Kamu harus kuliah, jangan pikirkan mama. Mama punya pegawai yang cukup untuk membantu mama, Mon. Kamu ga perlu mengkhwatirkan mama.”
“Kan beda ma! Mona ini anak mama. Mona ingin bantu mama. Kuliah ga penting, ma!” Aku sudah mulai emosi.
“Mona, jangan seperti itu. Kamu tetap bisa membantu mama meskipun kamu kuliah. Kamu harus kuliah, Mona,”
“Iya, Mon. Lo harus coba kesempatan ini.” Dinda tiba-tiba bersuara. Aku menatapnya dengan marah. Pasti Dinda yang mempengaruhi mama.
“Tapi itu bukan cita-citaku, ma!” teriakku. Mama langsung berdiri, dan berkata dengan sangat tegas, “Kamu harus coba kesempatan ini dan kamu harus kuliah!”
“Kalo papa disini, pasti papa akan dukung apapun pilihan Mona,” kataku sambil mulai menangis. Setelah itu, aku berlari meninggalkan rumah. Mama tega! Aku ingin membantunya, berkorban untuknya! Dan sambil berlari di trotoar, aku tertegun melihat seorang gadis yang sambil merentangkan kedua tangannya, berjalan ke arah hiruk-pikuk mobil yang lalu lalang dengan cepat. Apa yang akan dia lakukan? Wah, sepertinya aku tau. Lalu, dengan cepat aku berlari ke arahnya, menariknya, dan membawanya pergi menjauh dari situ.
“Lepasin gue!!!!!! Lepasin!!!!! Gue pengen mati!!!!!!!!!!” teriak gadis itu sambil meronta-ronta. Aku menamparnya, dan mengajaknya duduk di trotoar jalan yang sepi. Dia menangis sangat kencang. Lalu, mengalirlah dari mulutnya tentang bagaimana kisah hidupnya. Namanya Putri. Papanya pecandu alkohol, mamanya seorang bandar narkoba. Dia punya pacar yang sudah pacaran dua tahun dengannya. Pacarnya menghamilinya, lalu berhasil membujuknya untuk aborsi. Setelah itu, pacarnya menghamili gadis lain, dan menikahi gadis itu. Mamanya ingin agar dia meneruskan ‘bisnisnya’, papanya setuju. Tapi, Putri ingin sekali kuliah di bidang musik, itu impiannya sejak kecil. Selama ini dia telah menabung di bank secara diam-diam, dan ketika uangnya sudah cukup dan dia meminta izin kepada orangtuanya untuk kuliah, papanya malah mengambil seluruh uangnya, dan menghabiskannya di meja judi. Sekarang, Putri sudah tak memiliki alasan untuk hidup. Dia ingin sekali mati.
Aku benar-benar terharu mendengar kisah hidupnya. Dia mempunyai cita-cita yang tinggi, dan sangat sulit untuk terwujud, meskipun dia sudah berusaha semampunya. Aku pun hanya bisa menghiburnya. Dia sudah tidak ingin pulang ke rumahnya. Tiba-tiba terlintas ide di pikiranku. Aku menawarkan pekerjaan di restoran padanya. Awalnya dia ragu, tapi akhirnya di mau. Aku pun mengajaknya pulang ke rumah.
Mama menyambut kami dengan air mata. Ya Tuhan, maafkan aku telah membuat mamaku menangis. Aku memperkenalkan mama pada Putri. Untuk sementara, Putri akan tinggal di rumah kami. Dan lagi, terlintas sesuatu di pikiranku. Aku meminta izin Putri untuk menjadikan kisah hidupnya menjadi sebuah cerpen yang akan kubuat untuk mengikuti lomba. Dan dia mengizinkan, asalkan tidak mencantumkan nama aslinya. Ya, benar, aku akan ikut lomba itu! Aku tidak akan mengecewakan mama.
Sebulan telah berlalu. Hari ini adalah hari pengumuman hasil lomba menulis yang kuikuti sebulah lalu untuk menyenangkan hati mama, sahabatku Dinda, serta Jo yang telah memberikan selembar kertas yang cukup bisa mengubah mimpiku, dan yang entah mengapa selalu ada di sisiku dalam situasi apapun.
Kubuka inbox e-mailku, dan kulihat e-mail yang sudah kami tunggu-tunggu. Subjectnya, CONGRATULATION. Aku pun membaca isinya. Dan saat itu, khayalan mulai menari-nari di benakku, mengawali mimpi yang mulai mekar, hal yang pastinya akan membuat orang-orang yang menyayangiku tersenyum bahagia.
No comments:
Post a Comment