Wednesday, February 29, 2012

Cerpen : @auliacippidh

Unlucky Lucky Life


            Hari ini terasa sangat berbeda, sama seperti hari kemarin. Dimana hari itu berubah semenjak kematian Ryan. Rasanya semuanya begitu berbeda. Tidak ada lagi ucapan – ucapan yang dulu biasa bagiku namun kini itu sangat terasa manis meski sederhana. Dia pergi meninggalkanku sejak penyakit itu masuk dalam hidupnya.  Namun aku harus sadar dengan keadaan ini. Kini semuanya telah berbeda, bahkan sudah sangat berbeda. Ya, tanpa dia disisiku lagi. Dia yang sangat aku cinta, pergi untuk selama – lamanya. Aku harus bangkit, menjalani hidupku lagi. Masa depanku masih panjang, masih sangat panjang itu yang kini ada di benakku. Meski hatiku sangat sakit, tapi ini lah yang telah aku alami. Harus aku terima, dan harus aku lewati.  Aku beranjak dari beranda kamarku. Menarik tas dan kunci motorku, lalu pergi.
       Siang itu di kampus. Aku berkutat dengan tugas – tugas kuliahku. Aku belum menyelesaikan beberapa tugasku, karna beberapa hari kemarin kondisiku yang benar – benar tidak stabil. Banyak yang tertinggal semenjak aku tidak masuk kuliah. Hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kampus, melanjutkan hari – hariku menjadi mahasiswi, meskit tanpa Ryan sebagai malaikatku. Itu julukanku buat Ryan.
            “Childa” seseorang menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh sesaat setelah seseorang memegang bahuku, dengar suara yang tak asing lagi.
            “Dennis” aku tercengang memandang keberadaannya di hadapanku. Dengan wajah polos, aku menatapnya tajam dalam waktu cukup lama.
            “Hei Chil, whats wrong? Any problem? Aya naon neng? Eneng opo mbak?”
            “Selalu seperti itu” seketika saja aku memalingkan pandanganku. Dennis adalah sahabatku sejak kecil. Kita selalu satu sekolah sejak TK sampai SMP. Saat masuk SMA, Dennis pindah ke Kalimantan, kami tak pernah bertemu dengannya lagi semenjak itu.
            “Maaf dong, kenapa sih? Masih sedih ya, sorry sorry. Ya aku ngerti sih gimana perasaan kamu sekarang. Tapi bangkit lah, kamu yang dulu kemana?” Dennis duduk disampingku seraya mengelus kepalaku seperti yang biasanya dia lakukan.
            “Kamu nggak salah kok, emang mood aku masih belum balik aja seperti dulu. Lah, entar dulu. Kok kamu bisa disini? Ini kan kampus aku, dan kapan kamu balik dari Kalimantan? Jahat banget nggak kasi tau aku, kalau kamu kasi tau kan aku bisa jemput kamu ke bandara. Atau....” ucapku terhenti sesaat Dennis menutup mulutku dengan tangannya.
            “Syutttt, bisa nggak kalau nggak panjang – panjang ngomongnya?” kesal Dennis
            “Mmmmmmmm......” Aku tak bisa berbicara, karna mulutku masih di tutup sama Dennis. Aku mencubit tangannya, dia pun lekas melepaskan tangannya.
            “Sakit banget, jahat banget sih sama aku..” Aku ngomel tidak tentu rudu
            “Syuttttt!! Diam kenapa, kamu ni ya.”
            “Sorry, habis aku bingung kenapa kamu disini.”
            “Aku pindah kesini, kamu jangan sedih lagi ya. Aku pengen bisa buat kamu kembali seperti dulu. Childa yang aku kenal. Kamu itu seperti malaikat buat aku Chil, sejak kecil kita udah sama – sama dan saling ngerti”
“Tapi aku benar – benar kehilangan dia” mataku sudah berkaca – kaca. Namun aku berusaha menahannya.
“Cinta itu milik siapa saja. Meski perpisahan telah datang diantara kalian. Ingat. Itu hanya raga. Bukan hatimu dan hatinya. Hatinya hidup disini. Meski tidak bisa saling memiliki, namun merasakan cinta itu milik hak siapa saja” Sambil Dennis menunjuk ke arah hatiku. Tak sempat aku bertanya lagi, Dennis menarik tanganku, dan beranjak pergi.
            Sudah dua minggu Dennis pindah ke kampusku. Dia selalu ada disampingku. Mencoba menghiburku, agar aku tidak ingat terus dengan Ryan. Aku menghargai usahanya. Sesekali dia merayuku, mencoba membuat aku tersenyum seperti dulu. Namun sedikit demi sedikit aku mulai luluh olehnya. Dia membantuku mendapatkan semangat yang dulu. Dia selalu ada disampingku, kemana saja aku pergi. Dia selalu ada jika aku butuh, bahkan disaat aku tidak butuh. Dia mengerti aku, sama seperti dulu. Bahkan banyak hal yang dia lakukan, hampir sama seperti yang dulu Ryan lakukan padaku. Semakin lama aku merasakan, seperti menemukan Ryan di dirinya. Entah apa yang ada di benakku. Aku merasa Ryan hidup dalam diri Dennis. Aku tidak mengerti dengan perasaan ini. Aku kenal Dennis terlebih dulu, daripada Ryan. Tapi kenapa aku merasa Dennis sangat mirip dengan Ryan.
            “Childaaaaaaaa!!” teriakan keras dari kejauhan yang sudah tidak asing lagi. Aku pun menoleh. Kudapati Ayunda sedang berlari ke arahku. Dia teman baikku dari SMA.
            “Hai Nda” Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Saat dia sampai dia langsung duduk di sampingku.
            “Hei, aku cariin kamu kemana  - mana.” Sambil memegang bahuku
            “Ada apa emangnya?” tanyaku dengan wajah polos
            “Ini penting banget. Lebih penting dari apapun. Dan aku harus tanyain ini sama kamu sekarang, yang penting kamu harus jawab ya. Jangan nggak kamu jawab. Nanti aku ngambek sama kamu. Aku nggak mau tegur kamu, aku....”
            “Syuuuutt!!!! Intinya aja kenapa sih?” Aku memotong omongan Yunda
            “Iya sorry. Haha, aku perhatikan kamu sekarang udah bisa jauh lebih tegar ya. Apalagi semenjak ada Dennis. Kamu jadian ya?”
            “Nggak kok. Aku sama dia sahabatan aja kali Nda. Kita memang selalu seperti itu kok. Udah saling paham juga.”
            “Masa sih? Kok lebih seperti pacaran ya?” Dengan wajah polos dia menatapku tajam
            “Beneran lah. Siapa juga yang jadian.”
            “Tapi kamu suka kan sama dia? Haha ngaku aja deh, aku paham ni wajah – wajahmu” Dia menggodaku, dengan wajah sok tau.
            “Nggak lah, yuk kita masuk. Sebentar lagi jam nya bu Euis.” Sambil mengemaskan barang – barang.
            “Aaaa kok gitu sih? Jawab dulu dong”
            “Udah ayo masuk” aku berdiri sambil menarik tangan Yunda
            Suatu malam, Dennis menjemputku ke rumah. Biasanya dia memang ke rumah, tapi berbeda dengan malam ini. Dia datang membawakanku bouqet mawar merah. Dia memang selalu seperti itu, membawakan aku bunga mawar, namun berbeda dari biasanya. Kali ini bukan bouqet mawar putih yang dia bawa. Tapi mawar merah. Semenjak dulu, Dennis memang sering memberiku bunga mawar putih, sampai aku tidak menemukan itu semenjak dia pindah ke Kalimantan. Tapi kali ini dia memberiku mawar merah. Aku benar – benar sangat bingung dengan perasaan ini, hatiku tidak bisa bohong. Aku merasakan ada yang berbeda. Aku hanya termenung melihatnya memberikanku bunga itu.
            “Hi” ucap Dennis. Tapi aku masih termenung melihat apa yang ada di tangannya. Dia menyadarkanku, dia berdehem sangat kuat.
            “Eheeemmmm!!” Dennis menatap mataku dengan tajam.
            “Oh, em, aku. Maaf maaf, sorry Den. Aku...” belum selesai aku berbicara, Dennis memotong omonganku.
            “Ini buat kamu” Dia menatapku semakin tajam. Hatiku tidak berhenti berdegup kencang. Apa yang aku rasakan, masih belum aku mengerti. Apa aku jatuh cinta dengannya. Entah lah, kuharap ini hanya sebatas rasa sayangku sebagai sahabat.
            “Makasih Den” Aku tersenyum
            “Iya. Udah siap?”
            “Iya. Aku simpan bunga ini sebentar.” Aku meletakkan bouqet di ruang tamu. Lalu kami pun pergi. Malam itu Dennis mengajak aku kesuatu tempat. Tapi dia tidak bilang sama aku. Aku hanya bisa mengikutinya. Memang ada yang berbeda malam ini. Dennis nyetir mobil sangat tenang. Dia juga lebih tampak rapi. Walau dia memang selalu rapi, tapi aku merasakan ada yang berbeda.
            Kampus. Ya, aku bingung kenapa Dennis membawaku ke kampus malam – malam seperti ini. Dia memintaku menutup matanya dengan sehelai kain yang dia sodorkan. Aku hanya menarik nafas cukup panjang, dan aku menurutinya. Dia menuntunku mengarungi jalanan kampus. Entah kemana, aku tidak tahu. Sudah cukup jauh rasanya kami berjalan. Aku selalu bertanya kepadanya, tapi dia tidak menjawabku. Tanganku terus di pegangnya. Sehingga aku tidak bisa membuka penutup mataku. Tak lama kami pun sampai. Aku mendengar alunan musik yang sangat aku suka. Lagu ini yang selalu aku dengar. Permainan piano yang sangat aku kenal.
            “Den, itu siapa yang main piano? Den, Dennis. Ini kita kemana sih? Den..” penutup mataku di buka. Aku mendapatkan Dennis tengah bermain piano di pinggiran kolam renang kampus yang telah dihiasi lilin – lilin dan balon. Aku menoleh ke belakang. Bukan Dennis yang membawaku. Ternyata Josep teman satu kelasku. Aku memandangi Dennis dari jauh. Dia memainkan lagu kesukaan kami. Tak lama, dia berdiri dari kursinya. Dia beranjak dan berjalan mendekatiku. Jantungku semakin berdegup kencang. Dan kini dia berada tepat di depanku. Apa yang aku rasakan.
            “Chil” Dennis memegang tanganku erat. Mata coklatnya menatapku sangat tajam. Suasana kolam renang kampus yang telah di hiasi dengan lilin dan balon terasa sangat romantis. Ramai teman – temanku disana, masing – masing membawa balon warna – warni.
            “Ada apa ini Den?” aku masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.
            “Selama dua minggu aku disini. Aku merasa aku punya rasa yang berbeda sama kamu. Kamu pasti bingung kenapa aku membawakan mu bouqet mawar merah, bukan putih seperti biasanya. Itu karena aku jatuh cinta sama kamu, bukan sekedar sayang sebagai sahabat saja Chil. Aku juga nggak tau kenapa rasa ini bisa seperti ini. Aku cinta sama kamu? Mau kah kamu jadi malaikatku untuk selamanya?”
            “Kamu tau aku cinta sama Ryan. Dia adalah orang yang bisa buat aku merasa paling bahagia. Namun kini ada kamu. Ini yang sempat aku takutkan. Aku takut aku jatuh cinta sama kamu. Tapi aku tidak bisa bohongi perasaanku. Aku juga cinta sama kamu Den. Aku mau, dan aku harap kamu juga mau jadi malaikatku.”
            “Tentu” Dennis lekas memelukku erat. Mendekapku begitu dalam, benar – benar terasa hangat. Dalam dekapnya aku tersenyum dan lega. Dan aku berharap akan tetap baik – baik saja sampai kapanpun. Tiba – tiba saja langit malam itu penuh dengan kembang api. Riuh suara tepuk tangan dan senyuman kesenangan teman – temanku tampak jelas menghiasi malam itu.
            Sudah seminggu kami pacaran. Senang rasanya aku bisa berada disampingnya. Bangga dengan setiap sanjungan manisnya. Aku merasakan Ryan masih ada di dekatku. Aku cinta Dennis bukan karena aku merasa dia mirip Ryan. Tapi karena aku lebih memiliki keyakinan hati aku. Bukan karena hal lain. Sama seperti pasangan lainnya. Makan, nonton, jalan, foto – foto, shopping, dll. Aku merasa bahagia menjadi bagian hidupnya yang kini punya tempat spesial di hatinya. Dennis pacarku, yang juga sahabatku.
            “Capek banget ya Nda hari ini. Tadi kamu bisa test nya?” tanyaku ke Ayunda.
            “Aku bisa Chil, tapi aku rasa jawabanku nggak ada yang bener” wajahnya tampak sedih.
            “Kamu tam?” aku bertanya dengan Tama pacar Yunda
            “Aku bisa – bisa aja sih. Bisa nebak nya, hehe. Udah lah sayang, kamu pasti bener kok jawabannya.” Tama merangkul Yunda yang sedih sambil manyun – manyun.
            “Haha kalian ini”
            “Chil, si Dennis belum jemput kamu? Tanya Tama
            “Iya ni. Tumben banget. Hp nya juga nggak bisa di hubungi”
            “Dia nggak ada jadwal kuliah?” tanya Yunda
            “Nggak ada katanya. Makanya dia bilang nanti suruh hubungin dia kalau udah mau pulang. Tapi dari pagi hp nya nggak aktif”
            Sejam sudah aku menungg Dennis menjemputku. Dia tak kunjung datang, akhirnya aku memutuskan untuk naik taxi lagi. Yunda dan Tama sudah aku suruh pulang duluan. Karena aku tidak ingin merepotkan mereka.
            Empat hari sudah Dennis tidak ada kabar. Ini membuat aku sangat bimbang. Aku sedih dia bersikap seperti ini. Bukan karena dia tidak memberi aku kabar. Tapi karena dia tidak menepati janjinya. Hari ini aku ke kampus sendirian. Aku bergegas mengeluarkan motorku dari garasi. Tiba – tiba hp ku berdering. Tertera nama Yunda disana. Aku pun lekas menjawab.
            “Hallo Nda”
            “Aku mau ketemu kamu sekarang di Cosa Cafe, cepat Chil”
            “Ada apa Nda?”
            “Dateng aja.” Pembicaraan terputus. Aku bergegas ke cafe. Aku merasa ada yang tidak beres. Sesampainya disana, aku lekas menghubungi Yunda. Yunda menyuruh aku ke meja di pojok dekat pintu masuk.
            “Ada apa sih? Kok kamu suruh aku cepat kesini?”
            “Aku lihat Dennis sama cewek lain Chil”
            “Dennis?” hatiku rasanya cukup hancur saat itu. Aku langsung meminta Yunda menunjukkan dimana Dennis. Yunda menarikku ke arah jendela. Dia menunjuk ke arah cafe yang ada di depan Cosa. Aku melihat Dennis tengah duduk sambil berpegangan tangan dengan seorang gadis yang aku tidak kenal wajahnya. Aku lekas beranjak dan menghampiri Dennis.
            “Hi Den” sapaku dengan mencoba tenang. Dennis terkejut, dia langsung melepaskan tangannya lalu berdiri melihat keberadaanku di depannya.
            “Childa? Kok kamu ada disini?” tanya Dennis dengan nada sedikit panik
            “Ini siapa?” tanyaku sambil mencoba tersenyum
            “Aku Janish, aku pacarnya Dennis. Aku dari Kalimantan, kebetulan kami hari ini 3 tahunan. Salam kenal” Janish menyalamiku. Dia tersenyum sangat manis. Tidak tega rasanya aku melihat kebahagiaannya harus aku rusak. Dia masih tampak sangat muda.
            “Aku Childa. Aku sahabatnya Dennis” Aku mencoba tersenyum walau hatiku cukup hancur saat itu.
            “Ini sahabat kamu ya sayang? Yang sering kamu ceritakan sama aku kan? Salam kenal kak Childa. Kamu itu sosok yang hebat loh di mataku. Aku dengar semua tentang kamu dari Dennis. Dan aku sangat termotivasi bisa menjadi seperti kamu kak” wajah gadis itu membuat aku semakin tidak tega.
            “Iya. Salam kenal juga Janish. Emm, Den aku duluan ya. Ada jadwal kuliah soalnya. Daa” aku menarik Yunda lalu pergi.
            “Childa, Chil tunggu. Nanti aku ke rumah kamu ya” Dennis menahanku
            “Kita urus nanti aja ya Dennis. Kalian kan lagi 3 tahunan. Nanti kita bicarakan lagi”
            Aku hanya bisa duduk diam. Di beranda kamar aku duduk sambil merasakan dinginnya malam menusuk tubuhku. Hati ini sakit rasanya, jauh lebih sakit dari kehilangan Ryan. Dennis sahabatku sendiri, yang aku kenal sejak kecil. Tega seperti ini denganku. Aku tidak bisa menangis lagi. Tiba – tiba Dennis datang.
            “Chil maafin aku ya. Aku udah bohong sama kamu. Aku juga nggak cerita tentang hubunganku sama Janish. Aku khilaf Chil. Aku benar – benar sayang sama kamu, selama dua minggu disini aku yakin aku ada perasaan lebih sama kamu. Aku sayang kamu, tapi aku juga sayang Janish. Aku bingung Chil kenapa aku bisa seperti ini. Aku nggak bisa tinggalin janish, aku sayang sama dia, aku cinta sama dia. Maafin aku Chil.”
“Cinta itu milik siapa saja kan. Walau perpisahan datang diantara kita. Itu cuman raga saja. Bukan hati kita. Hati kamu masih hidup disini. Meski kita tidak saling memiliki, tapi mencintai siapa saja itu hak semua orang kan. Aku udah maafin kamu. Kita memang di takdirkan untuk sebatas sahabatan aja Den. “
“Chil” Dennis memegang erat tanganku
“Aku bisa jauh lebih kuat sekarang Den. Terima kasih untuk cinta yang udah kamu kasi ke aku, dan terima kasih kamu udah kasi aku kesempatan merasakan indahnya di cintai sahabat sendiri. Aku tetap sayang kamu, sebagai sahabat aku. Dan malaikatku.”
“Kamu mau kan tetep jadi sahabat aku?”
“Tentu. Jaga dia baik – baik. Jangan pernah kecewakan dia yang selalu ada untukmu. Jangan kecewakan dia yang lebih mencintaimu. Aku disini bisa menjaga diriku Den. Menikmati lika liku dan sejuta rangkaian skenario Tuhan untukku. Setelah melewatinya bersama Ryan. Dan kini aku sudah menyelesaikan skenario aku dan kamu, tapi aku ingin mengulang skenario kita yang dulu. Menjadi sahabat”
“Terima kasih Chil. Kamu memang sahabat aku yang paling baik” Dennis memeluk aku erat.
Dari sini aku belajar artinya perjalanan cinta. Makna cinta dan banyak hal tentang cinta. Walaupun dalam hal cinta aku belum seberuntung yang lain. Tapi aku beruntung dengan bagian hidupku dari sisi lainnya. Aku bangga menjadi diriku, menjadi Childa dalam hidupku, dia dan mereka semua. Dan aku mengerti, tidak semua yang kita harapkan kita dapatkan, tapi Tuhan selalu berikan apa yang benar – benar kita perlukan.

No comments:

Post a Comment