Saturday, December 10, 2011

Nurindah Zahra Harya Puspa ( @ZAZAHRAHP )

Belenggu Cinta Pertama
 
“Ya Tuhan, kebaya pengantin ini cantik sekali dikenakan oleh Vena”
Aku menoleh ke arah Tante Mira, juru rias yang menangani pernikahanku. Aku memaksakan segaris senyum. Kembali ku tatap bayangan di cermin itu. Ya, memang kuakui aku sungguh terlihat cantik dengan kebaya pengantin ungu tua ini. Kebaya sakral itu jatuh sempurna, melekat indah membalut tubuhku. Sempurna. Aku merenguh dalam hati, Ya, percuma saja kebaya sebagus ini dipakai oleh aku. Seharusnya aku memakainya dengan penuh cinta, bukan karena rasa terpaksa.
***
“Ven?”
Teguran Mama membuyarkan lamunanku. Aku mengerjapkan mataku, berusaha mengembalikan aku kedalam realita. Aku tersenyum menatap wanita cantik berusia yang tak lagi muda itu.
“Ngelamunin apa, Ven?” tanya Mama. Mama menjatuhkan tubuhnya disisiku. Aku refleks menggeser tubuhku, memberikan tempat untuk Mama.
“Gak kok, Ma. Vena lagi gak ngelamun” jawabku dusta. Entah mengapa rasanya sungkan menceritakan kejadian sebenarnya pada Mama.
“Vena, mama juga pernah muda. Mama tau kamu gelisah. Ya, wajar memang. Mama juga dulu menjelang hari pernikahan deg-degan kok”
Aku tersenyum kecut. Membenarkan dugaan Mama, walau bukan itu alasanku membuang waktu dengan melamun. Ingin sekali aku berkata pada beliau, kalau aku masih mencintai cinta pertamaku. Ingin sekali aku jujur, kalau aku belum bisa mencintai calon suamiku. Aku menelusuri lekuk wajah Mama yang mulai dipenuhi kerutan. Mama tak lagi muda. Usianya sudah menjelang separuh abad. Dan separuh usianya ia habiskan untuk merawatku. Separuh usianya ia abdikan untuk membahagiakanku. Hampir semua yang aku minta, ia penuhi. Aku tercenung, merasa kalau apa yang aku lakukan tak sebanding dengan yang beliau beri padaku. Apa susahnya membuat Mama bahagia? Ingatanku melayang pada acara lamaran bulan lalu. Mata Mama berbinar, tampak bahagia. Aku masih ingat bagaimana senyum merekah Mama saat Rio menyematkan cincin di jariku. Ku urungkan niatku untuk berkata jujur pada Mama bahwa aku belum bisa mencintai Rio. Aku tahu saat lamaran itu Mama sangat bahagia. Aku tahu, Mama sangat menanti hari pernikahanku dengan lelaki pilihannya. Rasanya tak mungkin aku menghancurkan kebahagian itu.
***
Aku menatap botol berisi undangan pernikahanku dengan Rio. Atas permintaan Mama, undangan pernikahanku dikemas dalam botol mungil dengan ikatan pita berwarna ungu. Semua undangan sudah dibagikan, tinggal tersisa satu yang kini dalam genggamanku. Satu undangan, untuk orang yang saat ini ingin sekali ku peluk. Ya, Ivan Gayuh Pradipta, cinta pertamaku. Orang yang dulu menjadi objek imajinasiku. Saat itu umurku tiga belas tahun, dan aku membayangkan aku akan berada di pelaminan megah itu beserta dengan Ivan disampingku. Mengarungi fase hidup baru dalam maghligai indah rumah tangga bersamanya. Indah, sangat indah memang khayalanku. Sesak sekali mengingat khayalanku dua belas tahun lalu itu. Aku tahu, khayalan indah itu tak mungkin terjadi. Kenyataannya, satu minggu lagi justru aku akan bersanding di pelaminan itu bersama lelaki yang bahkan belum bisa ku cintai. Menyedihkan, memang.
Aku mengambil ponsel yang tergeletak rapi di meja riasku. Ku tekan beberapa nomor yang sudah ku hafal diluar kepala.
“Nin, bisa ketemu sebentar? Penting banget” kataku langsung begitu telefon terhubung.
“Bisa, Ven. Dimana?”
“Mmm...” aku berfikir sejenak. “Di Sushi Tei bisa? Satu jam lagi aku kesana”
“Okey. See you, Ven”
Aku menutup telefon begitu Nindya menyatakan setuju. Aku mengambil tas, bedak dan lipstik, lalu sibuk memoles diri sedikit. Tanpa mengganti baju, aku bergegas mengambil kunci mobilku. Bergegas menemui sahabatku, dengan satu botol mungil berisi undangan dalam genggaman tangan kananku.
***
“Nin, tolong kasihin undangan pernikahan gue ini ke Ivan”
Nindya kontan membulatkan matanya, nampak terkejut dengan permintaanku. Beberapa detik terlewat, dengan ia menatapku dengan tatapan tak percaya.
“Ven... lo serius?” tanya Nindya lirih.
Aku mengangguk lemah, menundukkan kepalaku. Aku tak menatap Nindya, karena hanya dengan cara itulah aku bisa menyembunyikan air mataku. “Gue pengen dia dateng di acara pernikahan gue sama Rio. Gue pengen ketemu dia. Gue pengen liat dia, buat terakhir aja sebelum akhirnya gue hidup sama Rio. Gue minta tolong, Nin” kataku dengan suara bergetar.
“Apa itu artinya lo masih cinta ke dia?”
Aku mengangkat kepalaku. Kali ini, ku beranikan diri Nindya melihat air mata yang mulai membasahi pipiku. “Iya. Gue masih cinta ke Ivan. To be honest, tiga tahun gue pacaran sama Rio tetep gak bisa ngerubah rasa cinta gue ke Ivan. Gue udah berusaha buat cinta ke Rio, tapi hasilnya nihil. Belum ada yang bisa bikin gue secinta ini ke cowok kecuali Ivan”
Nindya terperangah mendengar peryataanku. “Tap... Tapi, Ven.. Lo...” Nindya kehilangan kata-katanya, masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Tapi... Tapi lo seminggu lagi mau married sama Rio, Ven. Astaga, Ya Tuhan... Vena... kenapa lo gak cerita dari dulu kalo lo masih cinta ke Ivan?” 
Aku menyeka air mataku, kemudian menghembuskan nafas panjang. Aku terdiam, entah harus berkata apa. Aku mengerjapkan mataku, berusaha meminimalisir air mata yang ku keluarkan.
Nindya yang tak tega melihat keadaanku, kemudian berkata “Gue gak nyalahin lo. Wajar, kalo lo masih cinta ke Ivan. Tapi bukan gini, Ven. Lo udah mau nikah sama Rio. Harusnya dari dulu lo jujur, kalo lo gak suka ke Rio. Udah terlanjur, dalam hitungan hari kedepan Rio udah halal buat milikin lo. Terus sekarang mau lo gimana, Ven? Lo mau batalin pernikahan lo gitu? Astaga Vena....” 
Aku menggeleng kuat-kuat “Gak, gue tetep nikah sama Rio. Gue gak mau nyokap gue kecewa, Nin. Gue.... ah pokoknya gue tetep nikah sama Rio” aku mengacak-acak rambutku, tak peduli keadaan Sushi Tei yang cukup ramai sore ini.
Nindya mengedikkan bahu, dan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Kebaya panjang berwarna putih itu membalut tubuhku, membuatku terlihat istimewa. Make-up sederhana membuat wanita di cermin itu nampak bersinar. Sempurna, sangat. Aku tersenyum getir melihat sosok di cermin itu. Ya, itu aku. Hari ini, 25 Desember 2011, adalah hari pernikahanku. Tanpa bisa ku cegah, air mata perlahan turun, menghapus sedikit demi sedikit polesan make-up di wajahku.
“Aduh aduh, Mbak Vena kok nangis?!” seru Tante Mira histeris. Ia segera mengambil tissue, lalu menyeka air mataku. Setelah tak ada lagi sisa-sisa air mata yang menggantung di pelupuk mataku, ia mengambil bedak serta blush on dari kotak make up besar.
“Mbak Vena bahagia banget ya hari ini? Sampai nangis begitu”
Aku terdiam mendengar ucapan Tante Mira. Aku tersenyum getir, sebagai balasan ucapannya. Aku menangis bukan karena bahagia, tapi karena sesak mengingat siapa yang akan bersanding denganku nanti. Sesak mengingat siapa yang akan mempersuntingku sebentar lagi.
“Yuk Mbak, sudah jam delapan. Sebentar lagi akad nikah dimulai”
Aku mengikuti langkah Tante Mira dengan gamang. Semoga apa yang kupilih ini benar. Ya Tuhan, maafkan aku telah membohongi calon suamiku sendiri.
***
Aku menatap lelaki yang tengah menggenggam tanganku. Sedari tadi, ku lihat Rio selalu tersenyum. Rio nampak tampan dengan beskap berwarna ungu tua ini, senada denganku yang memakai kebaya ungu tua. Selang satu jam setelah akad nikah, kami langsung menggelar resepsi pernikahan. Kebaya putih cantik untuk akad nikah itu kini berganti dengan kebaya ungu tua yang tak kalah cantik. Rio memang terlihat sangat tampan, namun entah mengapa sampai hari ini suamiku itu belum bisa menggantikan Ivan.
Saat ini, kami tengah berada dalam mobil yang akan membawa kami ke Gedung Graha Kencana. Gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu moment yang sangat penting di hidupku.
“Sayang, kok nangis?” Rio segera mengambil tissue, lalu menyeka lembut air mataku. Aku mematung, terkesan dengan sikapnya. Aku bahkan baru menyadari kalau lagi-lagi aku menangis.
Aku memaksakan segaris senyum pada suamiku itu “Aku menangis karena terharu, Yo. Aku bahagia, akhirnya tiga tahun kita pacaran, hubungan kita resmi juga” jawabku dengan suara parau, berusaha agar terkesan normal. Sungguh, aku membenci diriku sendiri! Jawaban yang sama sekali berlawanan itu membuatku jengah. Aku bahkan berbohong pada orang yang satu jam yang lalu resmi menjadi suamiku.
Rio tersenyum, lalu mengecup keningku. Sungguh, ini sama sekali tak adil. Rio begitu mencintaiku, tapi aku? Aku bahkan tak pernah mencintainya.
Lima belas menit kemudian, Toyota Altis hitam yang kami naiki memasuki pelataran Gedung Graha Kencana. Suasana di tempat parkir mulai ramai, karena kami memang mengundang sekitar 1000 orang di acara resepsi ini.
Degup jantungku mencapai level maksimal saat tangan Rio menggenggam erat tanganku memasuki gedung megah ini. Aku tahu mengapa jantungku berdegup dengan gilanya saat ini. Ya, benar. Karena Ivan. Karena aku gelisah, menanti kehadirannya dalam acara pernikahanku.
***
“Selamat ya, akhirnya nikah juga” Nindya menjabat tanganku, lalu memeluk tubuhku sejenak. Kemudian ia menjabat tangan Rio, seraya bergurau. Nindya datang bersama suami dan anak semata wayangnya. Aku menatap Nindya sejenak. Ingin sekali aku berbicara padanya, perihal undangan untuk Ivan. Namun sayang, barisan panjang para tamu undangan itu mengurungkan niatku. Sepertinya, aku masih harus berdiri disini satu jam kedepan untuk membalas ucapan selamat dari tamu-tamu itu. Aku jengah, ingin sekali duduk. Aku menatap Rio, berusaha mencari tahu apakah suamiku itu juga merasakan hal yang sama. Namun aku salah, Rio justru sangat bersemangat. Tak ada ekspresi lelah dalam guratan wajahnya. Senyum sedari tadi tercetak dibibirnya, seolah mengumumkan pada siapa saja bahwa ia bahagia. Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku menikmati ini, seperti Rio. Seharusnya aku bahagia dengan semua ini, bukannya mengeluh. Ya, seharusnya. Kenyataannya, aku tak menikmatinya. Aku tak bahagia. Yang ada justru bagaimana rasa tertekan itu membunuhku saat ini. Mengapa? Sederhana saja. Karena aku menginginkan Ivan yang mengucap janji setia sehidup semati itu. Karena aku menginginkan Ivan yang memakai beskap ungu tua itu. Karena aku menginginkan Ivan yang mendampingiku membalas ucapan selamat setiap tamu. Karena aku menginginkan Ivan yang menjadi suamiku. Karena aku mencintai Ivan. Ivan, bukan Rio.
“Capek, sayang? Sabar ya, nikmati aja” ucap Rio ditengah aktivitasnya membalas ucapan selamat dari salah satu tamu.
Aku hanya tersenyum, sedikit. Ku lihat seorang ibu berpakaian batik tertawa kecil mendengar ucapan Rio. Huh! Menyebalkan!
Aku mengedarkan pandanganku, berusaha meneliti wajah-wajah yang menggabungkan diri dalam barisan panjang ini. Berharap aku menemukan Ivan dalam antrean itu. Dan, hey! Aku melihatnya! Degup jantungku seketika menggila, berdetak dalam level histeria. Di arah jarum jam 1, seorang lelaki tengah mengedarkan pandangannya. Sepertinya ia jenuh dengan antrean yang tak kunjung berkurang. Mataku menguncinya dalam akses pandangan. Ia masih sama, seperti tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu, saat terakhir aku bertemu dengannya. Tak ada yang berubah. Gayanya masih sama, tetap casual seperti dulu. Astaga, aku bahkan baru menyadari kalau aku merindukan semua darinya. Aku segera tersadar dari lamunan gilaku. Aku segera tersadar siapa aku sekarang. Aku sudah tak berhak merindukan Ivan, karena statusku saat ini adalah istri orang.
Entah berapa lama aku melamun dalam penantian, tiba-tiba saja Ivan sudah berdiri didepanku. Sudah tiba gilirannya untuk memberikan ucapan selamat padaku.
Ivan tersenyum hangat, seraya menjabat tanganku. “Halo Vena, lama tak jumpa. Selamat menempuh hidup baru” ucapnya santai, nampak tak ada beban.
Aku berusaha menetralkan degup jantungku yang tak wajar. “I.. Iya, makasih Van sudah datang” suaraku tak terdefinisi. Lirih, parau, dan nada getir sarat terdengar didalamnya. Entahlah...
“Halo, Van! Sendirian aja?” tanya Rio saat Ivan menjabat tangan suamiku itu.
Apa? Apa yang suamiku tanyakan tadi? Entah mengapa aku tak ingin mendengar jawaban Ivan. Aku belum siap mendengar pernyataan sederhana dari Ivan perihal pasangan hidupnya.
Ivan terkekeh geli “Gue masih single kok, Yo”
Aku tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan kekagetanku. Ivan masih sendiri? Sulit dipercaya.
Aku mengedarkan pandanganku, dan tiba-tiba aku melihat Nindya. Di arah jam 8, ia tengah menatapku dengan pandangan nanar. Aku tahu, Nindya pasti melihat Ivan. Aku tahu Nindya pasti sedang mengasihaniku. Mengasihani aku, wanita malang yang terpaksa menikah dengan orang yang tak ku cintai. Setelah Ivan turun, kembali tanpa hasrat aku membalas ucapan selamat. Aku hanya membalas ucapan itu dengan kata-kata singkat macam ‘terimakasih’, dan tersenyum dipaksakan. Sangat berbalik dengan Rio. Kalau saja yang mendampingiku saat ini Ivan, akan lain cerita pasti. ‘Seharusnya kamu yang disini, Van. Bukan Rio’ kataku dalam hati. Tuhan, salahkah aku atas perasaan ini? Salahkah bila aku masih mencintai Ivan, walau statusku sudah bukan lajang lagi? Ivan Gayuh Pradipta, Cinta pertamaku. Lelaki yang membuat seluruh ruang hatiku terjerat, tanpa menyisakan ruang kosong sedikit pun. Lelaki yang membuat aku seluruh pikiranku terbelenggu. Lelaki yang bahkan membuatku tak bisa mencintai suamiku sendiri...
 

No comments:

Post a Comment