Thursday, December 1, 2011

Cerpen : Venda Intan Pratama

Love Is Strength

            “Janji persahabatan : selalu ada disaat suka maupun duka, selalu mendukung satu sama lain, tidak menyakiti perasaan satu sama lain dan yang terpenting untuk saat ini, nanti dan selamanya kita akan tetap menjadi sahabat tidak akan ada yang berubah.” Ujar cewek berambut pendek sebahu dengan suara lantang.
            “Janji !” balas cewek berambut panjang kecoklatan  dan seorang cowok yang berada persis didepan cewek berambut pendek secara bersamaan.
###
            Hari menjelang pagi. Sinar matahari mulai menyembul dari langit sebelah timur sehingga menyisakan bias-bias kekuningan diseluruh jagat raya yang disinarinya. Rupanya ini sudah menjadi pemandangan yang umum setiap paginya. Dapat kurasakan dengan jelas kebekuan udara yang berhembus sejuk menerbangkan helai-helai daun yang bergelayutan manja diatas pepohonan yang tertanam kokoh pada sepetak halaman sebuah rumah sederhana yang tampak asri.
            Aku menghirup udara secara perlahan berusaha mengisi rongga paru-paruku dengan udara pagi yang masih bersih disekitarku. Aku tersenyum ketika tanpa sengaja pandanganku terarah pada sekawanan kecil burung gereja yang bertengger manis diatas sebuah pohon rindang di halaman rumahku. Secuil kenangan bermain-main didalam otakku. Tubuhku menghangat kala mengenang setiap kejadian itu, rasa bersalah itu kembali muncul membuat nafasku seakan tercekat. Bersamaan itu pula kurasakan air mataku mulai mengaburkan pandanganku pada keindahan dunia dihadapanku. Sebuah kesalahan, penghianatan & kehilangan.
            “Aku merindukan kalian.” Bisikku lirih.
            Kita sama-sama dekat, sudah terlalu lama kita saling mengenal satu sama lain. Entah sejak kapan, yang pasti saat itu kita masih berupa anak-anak kecil yang suka berebut mainan atau makanannya dan selalu menangis jika merasa kalah atau tersaingi. Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana kalian bertiga bisa menjadi sahabat ?’ sudah dipastikan jawaban kita hanyalah berupa gelengan kepala.
            Kebersamaan antara aku, Flora dan Miko bukan hanya menjadi kebersamaan biasa yang tidak berarti apa-apa. Kebersamaan itu telah berubah dan berkembang menjadi persahabatan. Kita sama-sama menyadari betapa banyaknya kebersamaan yang sering kita lalui bersama baik dulu maupun sekarang baik suka maupun duka. Kita mengawali persahabatan ini melalui sebuah pertemuan yang tidak disengaja saat masih menyandang predikat sebagai anak dibawah umur yang masih ingusan dan nantinya mungkin berakhir dengan ketidak sengajaan pula, tetapi aku berharap kebersamaan sekaligus persahabatan ini sejati dan tak pernah berakhir selamanya.

            Tak ada kata-kata yang lebih indah daripada sebuah persahabatan. Setiap manusia pasti membutuhkan hadirnya sahabat sejati dikehidupannya, namun tidak semua manusia bisa mendapatkannya. Aku termasuk kedalam manusia yang beruntung karena mempunyai sahabat seperti mereka.
###
Something :
Pengakuan...
            “Le, aku merasa saat ini aku sedang jatuh cinta kepada seseorang. Kau tau siapa dia !? Miko, ya orang itu adalah Miko. Jujur aku menyukai cowok itu, ya meskipun aku sadar telah melanggar janji yang pernah kita buat dulu, tetapi inilah kenyataannya.” Ujar Flora. Aku terdiam berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan.
            “Le, kok kamu diem aja sih ? Apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu ? Kamu baik-baik saja kan ?” tanyanya lagi untuk lebih memastikan keadaanku. Aku menggeleng, sebuah senyum menaungi kedua belah bibirku.
            “Kalo yang kamu maksud dengan baik adalah tidak sakit, tidak cacat atau tidak kekurangan suatu apapun, ya aku rasa saat ini memang sedang baik-baik saja.”
            “Ah kamu bisa aja, Le. Eit, tapi ingat ya ini rahasia kita berdua lho. Gak boleh ada yang tau tentang rahasia ini terutama Miko.” Aku menangguk, Flora memelukku erat. “Makasih, Le.”
            Air bening menetes di pipiku, namun aku buru-buru menyekanya sebelum Flora sempat melihatnya. “Iya, ini memang rahasia kita berdua. Dan apa yang kurasakan saat ini hanya menjadi rahasiaku seorang diri. Biarlah, cukup aku saja yang merasakan sakitnya hati ini.”
            “Iya sama-sama, Ra.” Jawabku.

Kebahagiaan tak selalu datang menghampiri. Tekadang kita selalu mengharap bahkan bergantung pada datangnya sebuah kebahagiaan. Kita tidak tahu, bahwa yang dinamakan kebahagiaan adalah saat kita dapat melihat atau merasakan orang-orang yang kita sayangi sedang tertawa bahagia karena kebahagiaannya, dengan begitu kita akan selalu mempertahankan sesuatu yang berharga yang sudah menjadi milik kita tanpa mau merampas dan membinasakannya.

Pernyataan :
            Jeda yang terlewat dalam kebisuan akhirnya tercairkan beberapa menit kemudian. Miko menatapku, lalu buru-buru mengalihkannya lagi. Beribu pertanyaan sudah memadati seluruh ruang di otakku sedari tadi. “Ada apa sih ?”
            “Le, jika seorang sahabat tiba-tiba memintamu untuk menjadi lebih dari sekedar sahabat, apa yang kamu lakuin ?” aku terdiam cukup lama, kulirik Miko sedang menghembuskan nafas pelan. “Apa dia masih menunggu jawabanku ?” tanyaku dalam hati. Bibirku sudah terbuka hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tertutup kembali. Kata-kata yang telah tersusun tadi seakan lenyap dan menguap begitu saja tanpa bisa kucegah.
“Padahal persahabatan itu sudah terjalin cukup lama,” tambahnya semakin mengambang.
            Please, to the point. Aku gak terbiasa sama sesuatu yang gak jelas seperti ini !!” Teriakku yang hanya tertahan didalam hati.
            “Aku suka sama kamu, Le. Aku gak tau sejak kapan perasaan ini mulai berubah dan bagaimana bisa aku menyukai sahabatku sendiri,” Miko memandangku dengan sorot kesungguhan yang terpencar jelas disana. Tubuhku menjadi kaku, aku hanya mampu terdiam menunduk sedalam-dalamnya sembari memainkan kedua kakiku di bawah meja. “Aku gak butuh balasan dari kamu kok, Le, aku hanya ingin menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi, itu saja. Dan maafkan aku karena telah melanggar janji persahabatan yang pernah kita buat dulu.” Ujarnya dengan nada penuh penyesalan. Miko segera bangkit dari tempat duduknya meninggalkanku seorang diri disebuah keramaian yang terasa menyesakkan bagiku.
            “Kenapa semuanya menjadi serumit ini ? ya Tuhan, apalagi cobaan yang Kau berikan untuk menguji persahabatan ini ?”

Satu lagi luka yang tercipta, menodai sucinya persahabatan yang berawal dari sebuah lubang pengkhianatan yang teramat dalam dan begitu menyakitkan.

Malam harinya aku tak bisa tidur sama sekali. Pengakuan dan peryataan yang bertubi-tubi siang tadi, telah melumpuhkan setiap sel yang ada pada tubuhku seakan menjadi penyebab insomniaku. Aku duduk bergeming diatas tempat tidurku yang empuk sambil menatap kosong pada lambaian tirai yang dipermainkan angin didepanku. Kupandangi bulan dan bintang diatas sana berharap menemukan sebuah jawaban untuk menyelesaikan kerumitan ini, tetapi nyatanya mereka tetap bergeming dengan angkuh seakan tak perduli dengan apa yang terjadi dibawahnya.
Aku menundukkan kepala, lama aku terdiam dalam posisi seperti ini. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku hingga terasa nyeri. Aku tak peduli. Nyeri dihatiku lebih menyakitkan daripada nyeri dibibirku.

“Janji persahabatan : selalu ada disaat suka maupun duka, selalu mendukung satu sama lain, tidak menyakiti perasaan satu sama lain dan yang terpenting untuk saat ini, nanti dan selamanya kita akan tetap menjadi sahabat tidak akan ada yang berubah.”

Kata-kata itu menggema di telingaku. Kepalaku terasa berputar-putar, sangat pening. Nafasku naik turun tak beraturan, aku merasa sesuatu yang sangat sakit dibagian dada kiriku. Aku meraba meja nakas disamping tempat tidurku berharap menemukan sesuatu yang dapat meredam rasa sakit ini. Kuteguk sekaligus 5 macam obat dalam genggaman tanganku, memejamkan mata sejenak, berusaha menghilangkan semua pikiran yang selama ini membebaniku. Dan akhirnya aku tertidur.
23 Oktober 2010...
Dear diary,
Hari ini merupakan hari yang penuh kejutan bagiku. Ulang tahunku masih 2 bulan lagi, tetapi kejutan demi kejutan sudah menghujamku dengan telak tanpa bisa kuhindari. Pengakuan dan pernyataan singkat itu begitu mudahnya mengalir dari bibir mereka. Aku merasa duniaku mendadak runtuh ketika mendengarnya.
            “Le, aku merasa saat ini aku sedang jatuh cinta kepada seseorang. Kau tau siapa dia !? Miko, ya orang itu adalah Miko.”
Aku suka sama kamu, Le, aku juga gak tau sejak kapan perasaan ini mulai berubah dan bagaimana bisa aku menyukai sahabatku sendiri.”
Tuhan, apa aku harus merasa senang karena pernyataan Miko atau aku harus bersedih jika mengingat sahabatku, Flora, juga menyukai cowok itu. Aku gak mau menyakiti mereka semua. Andai saja waktu dapat diputar kembali, aku akan memohon kepadaMu agar perasaan ini tak pernah berubah selamanya. Agar perasaan suka maupun sayang ini hanyalah tameng dalam sebuah persahabatan saja, tidak lebih.

Disini aku mulai merasakan kekeliruan dalam persahabatan ini. Aku menyadari, disini kita sama-sama saling melukai dan dilukai, mengkhianati dan dikhianati, membohongi dan dibohongi, dan seolah menganggap ikrar yang pernah terucap itu hanya masa lalu belaka.

###
Different :
Semuanya berubah tak sehangat dulu...
            Kini aku tak bisa bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Kini aku tak bisa leluasa memandang wajah itu, wajah yang telah membutakan hatiku. Kini aku tak bisa... aku tak bisa lagi berbuat semauku, jika aku tak ingin menyakiti perasaan mereka... aku tak bisa seperti dulu lagi.
            “Kenapa semuanya harus serumit ini ?” lagi-lagi pertannyaan itulah yang hanya bisa kupertanyakan. “Kenapa ? kenapaaa !?”
            Cuaca siang ini sangat panas. Keringat mulai bermunculan diwajahku, membasahi sekujur tubuhku membuat bajuku menjadi basah. Percuma saja mengharap kemurahan sang Dewa hujan untuk menurunkan rintik-rintik penyejuknya di siang hari yang menyengat ini.
Aku membuka pintu kamarku, namun langkahku langsung terhenti ketika menyadari hadirnya orang lain didalam sana. Mataku terbelalak saat mengenali seseorang yang kini tengah menatapku dengan raut muka yang sama sepertiku. Terkejut. Buku tebal berwarna biru yang sedari tadi dipegangnya itu kini terhempas di lantai kamarku sehingga menimbulkan bunyi gaduh.
“Lia, apa benar semua ini ?” tanyanya dengan suara gemetar menahan tangis. “Kenapa kamu tega ngelakuin ini semua ke aku, Le ?”
“Aku...” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi, rasanya seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. Pandangan mataku mulai tidak fokus karena terhalangi cairan-cairan bening yang berusaha menerobos keluar dari sana.
“Kamu tega, Le. Kamu jahat !!” tandasnya seraya meninggalkanku yang masih terpaku diambang pintu. Tubuhku limbung, aku segera bersandar pada pintu kamarku dan menjatuhkan tubuhku pada kerasnya lantai marmer dibawahku. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku seakan ikut lenyap bersama perginya orang itu. Seseorang yang kuanggap sebagai sahabat sejatiku sendiri bahkan tega menganggapku jahat karena menurutnya aku telah merebut semua impiannya. Aku jahat !!! benar-benar jahaaattt !!! teriakku dalam hati. Aku merasa sekelilingku menjadi gelap, kepalaku berat, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku, jantungku berdetak 2 kali lebih cepat dari biasanya dan terasa sedikit nyeri. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Dada sebelah kiriku terasa nyeri. Setelah kejadian siang itu, aku sama sekali tak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi kepadaku. Kudengar sayup-sayup suara seseorang menangis. Aku ingin membuka mataku saat ini juga, aku ingin mengetahui siapa yang sedang menangis itu, tetapi rasanya berat. Sekali lagi aku seperti terguncang, semuanya berputar begitu cepat. Aku takut, aku menangis tanpa suara, ya Tuhan aku menyerah.
Saat aku terbangun, aku melihat adanya sebuah lorong panjang tepat dihadapanku. Aku berjalan tanpa arah yang pasti menyusuri lorong yang tak berujung itu. Sekitarku tiba-tiba bergetar. Gempa, pikirku. Aku berjongkok dan menunduk sedalam-dalamnya takut melihat kenyataan yang akan terjadi. Gempa selama 5 menit itu sudah mereda. Perlahan-lahan aku mendoangakkan kepala, membuka kedua mata, tetapi untuk selanjutnya aku malah kebingungan setengah mati melihat apa yang terjadi disekitarku.

Flash back : kerlip aurora, 1 tahun yang lalu
            “Nih aku bawain sesuatu buat kamu.” Kata Miko sembari menyerahkan sesuatu berbentuk persegi panjang kepadaku. Aku menerimanya dengan hati gembira.
            “Apaan nih ?” tanyaku penasaran. Miko mengedikkan bahu, tersenyum penuh arti. “Buka aja kalo penasaran.” Sarannya.
            Aku membuka benda persegi panjang itu, mataku terbelalak saat menemukan benda cantik didalam sana. Aku tersenyum, menoleh kearah Miko seakan tak mempercayai apa yang barusan aku lihat.
            “Suka ?” tanyanya kalem. Aku mengangguk cepat. “Coba kau lihat, warna dari kerlip bandul kalung ini bisa berubah-ubah menjadi kuning, jingga, ungu dan merah. Sini aku bantu makainya.” Aku menurut. Miko memasangkan sebuah kalung cantik itu di leherku. Dingin ! saat kurasakan logam bandul itu menyentuh kulitku.
            “Cantik seperti aurora. Makasih ya, Mik, aku suka banget.”
            “Sama-sama. Bagiku kalung ini tak seberapa cantik jika dibandingkan dengan kecantikanmu.” Gumamnya pelan. Aku menegang saat mendengar gumaman itu. “apakah aku tadi tidak salah dengar? Apa...”
            “Maksudmu ?”
            “Lupakan saja.” Kata Miko sambil berlalu dari hadapanku.
Saat itu perasaanku tidak cukup peka. Aku menganggap lalu perkataannya waktu itu, aku tak mau berharap banyak apalagi saat dihadapkan pada 1 kenyataan mutlak yang membuatku merasa harus menekan semua perasaanku terhadapnya. Dia sahabatku, saat ini dan selamanya...

Aku merasa berputar-putar lagi. Tak lama kemudian semuanya menjadi benderang. Mataku mengerjap lambat, sinar matahari sangat menyilaukan. Aku menutupi kedua mataku dengan tangan kananku, berusaha menajamkan pandangan agar lebih terbiasa pada tempat yang menyilaukan ini. sangat terang, batinku. Aku menatap sekelilingku, terasa aneh, aku tak mengenali tempat ini. Dimanakah aku saat ini ?

Flash back : 2 bulan yang lalu
            Udara berhembus kencang disekitarku menerbangkan beberapa helai-helai daun yang berguguran di tanah. Saat ini aku sedang duduk di sebuah taman, seorang diri, ya bisa dibilang seperti itu untuk saat ini, tetapi tidak untuk beberapa menit kedepan. Bisa dikatakan saat ini aku sedang menunggu hadirnya seseorang.
            “Hei ! maaf banget yaa, Le, aku datengnya telat.” Ucap Flora, nafasnya terlihat memburu.
            “Tuh kan kebiasaan banget kamu, Ra.” Kataku pura-pura mayun. Lalu aku tersenyum, cewek berambut pendek itupun ikut tersenyum. Flora memelukku erat.
            “Makasih, Le.”
            “Hah !? makasih untuk apa ?” tanyaku bingung.
            “Makasih untuk semuanya. Makasih karena udah mau jadi sahabatku. Kamu adalah sahabatku yang paling baik. Aku gak mau kehilangan kamu, Le.”
            “Aku gak ngerti.” Ucapku jujur sambil menggelengkan kepala.
            Dia melepas pelukannya, menatapku masih dengan senyuman yang sama. Dia menunjuk dada sebelah kirinya lalu menunjuk dada sebelah kiriku. Aku menaikkan sebelah alis kiriku, bingung melihat ulahnya yang mendadak aneh hari ini. “Aku berjanji, nantinya jantung ini aku kasih buat kamu. Kamu baik-baik ya, Le.”
            Saat itu aku tak berani menerka-nerka apa yang kemungkinan terjadi. Perkataan Flora sangat membingungkan, aku ingin bertanya, tetapi pandangan matanya waktu itu seakan menghipnotisku sehingga aku tak mampu untuk bertanya-tanya lagi.

            Aku berdiri bingung dibawah rerimbunan pepohonan tak jauh dari kedua sosok itu berada. Aku ingat betul kejadian itu terjadi 2 bulan yang lalu saat aku dan Flora akan pergi ke toko buku. Aku tersadar dari keterpanaan yang cukup lama, jantungku berdegup begitu cepat. Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba sekelilingku menjadi gelap. Tak lama setelah itu, aku merasakan tubuhku luruh kebawah, masih belum tahu dan belum sadar seutuhnya ketika jiwaku lagi-lagi sudah berada ditempat yang berbeda.
            Sebuah bangunan megah berdiri didepanku. Aku berusaha mengingat-ingat tempat itu. begitu familier, gumamku. Dari kejauhan nampak sebuah mobil sedan melaju dengan cepat, aku tak peduli, aku masih sibuk berusaha mengingat tempat ini dengan memori otakku yang terbatas.
Tinn... Tinnn... Tinnn...
            Aku terlonjak kaget saat mendengar klakson mobil yang sangat memekakan telinga itu. Aku menyapukan pandangan disekitarku, satu kata terbersit di kepalaku ‘rumah’ ya aku sudah ingat. Ini adalah jalanan didepan rumahku.
Tinn... Tinnn... Tiiinnn....
            Suara klakson itu terdengar lagi, begitu dekat. Aku memandang tajam mobil itu, tetapi aku tetap tidak perduli. Aku lebih perduli lagi pada seorang gadis sedang berjalan menunduk seperti sedang menangis sembari akan menyebrang jalan. Deg ! diaa ?? dia kan... dia ? FLORA !!! aku berteriak sekencang-kencangnya, meneriakkan namanya dan berusaha menyadarkannya dari lamunan.
            “Floraa, awassss !!!” teriakku keras. Aku tersadar teriakanku tak akan didengar oleh Flora, mengingat keadaanku saat ini yang berupa jiwa tanpa raga.
BAAAKKKK...
Tubuh itu terlempar beberapa meter dari tempat kejadian. Mobil yang menabraknya kabur tanpa sempat dicegah. Flora... Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi diluar sana ? Tuhan, kembalikan aku ketempatku semula agar aku tau apa yang sebenarnya sedang terjadi, kataku. Kakiku melemas dan pasrah ketika ruang waktu itu kembali membawa jiwaku ketempat lain. Entah kemana lagi setelah ini.
Aku mengerjapkan mata untuk yang kesekian kalinya. Kepalaku semakin pusing, aneh, aku sempat menduga ‘apa seperti inikah rasanya mati suri ?’ oh entahlah, lama-lama aku bisa gila jika memikirkan hal yang tidak masuk akal seperti ini terus. Aku berdiri dari tempatku tertidur, bau obat segera menyergap hidungku, aku terus berjalan disebuah ruangan yang lengang.
Dari jauh terdengar bunyi dari sebuah alat yang tidak kuketahui namanya menggema diseluruh ruangan. Kulihat beberapa orang berpakaian serba putih mengelilingi sesuatu yang ada di tengah-tengah mereka. “Dokter ? Bau obat-obatan ? Suara alat ? mungkinkah ?? tempat ini, oh astaga tempat ini adalah rumah sakit, tetapi kenapa tiba-tiba aku bisa berada di rumah sakit ? apa gara-gara kejadian di siang hari itu ? ketika Flora marah padaku dan meninggalkan rumahku sambil menangis. Flora ? Flora menangis ketika meninggalkan rumahku, sebuah sedan biadab telah menabraknya dan terakhir rumah sakit. Apakah ini ada hubungannya ? bagaimana keadaannya sekarang ?” beribu pertanyaan berseliweran di kepalaku, hal inilah yang membuatku semakin tertekan.
Aku melangkah semakin mendekat kearah dokter-dokter yang terlihat sedang sibuk itu. Aku melongokkan kepala untuk melihat lebih jelas apa yang sedang mereka kerjakan saat ini. Nafasku tercekat, mataku melihatnya dengan amat jelas. Tubuhku dan tubuh Flora terletak berdampingan. Mereka sedang melakukan operasi, tetapi operasi apa yang sedang mereka lakukan terhadap tubuhku dan tubuh sahabatku ?
“Alhamdulillah operasi transplantasi jantung ini berhasil ya, Dok.” Ujar salah satu dari mereka. Percakapan selanjutnya tak sempat kudengar, tetapi yang didengar jelas oleh telingaku hanyalah sebuah kalimat yang sudah cukup untuk menjelaskan semua yang terjadi. Transplantasi jantung ???
###
Accident :
            Aku membuka mata perlahan menatap langit-langit sebuah ruangan yang berwarna putih. Dimanakah aku saat ini ? apa aku sudah kembali pada duniaku ? tanyaku pada diriku sendiri. Pertanyaan itu segera terjawab ketika tanpa sengaja mataku manatap seseorang yang tengah tertidur disamping ranjang sebelah kiriku. “Mama ?” ujarku dengan suara serak. Kulihat mama menggeliat sesaat, lalu segera memusatkan seluruh perhatiannya kepadaku. Beliau memandangku tidak percaya. “Lia ? kamu sudah sadar, sayang ?” tanya mama sembari memelukku lembut. Kulihat papa terbangun dari tidurnya diatas sebuah sofa putih diseberang ranjangku. Sepertinya papa nampak terganggu oleh suara gaduh mama.
            “Pa, lihatlah Lia sudah sadar !” teriak mama. Papa memandangku, kemudian tersenyum dan menghampiriku yang masih terkulai lemas diatas ranjang.
            “Syukurlah sayang, kamu sudah sadar. Papa, mama, kak Rega dan Miko khawatir melihat keadaanmu.” Aku tak menanggapi ucapan papa. Mataku mulai jelalatan berharap menemukan hadirnya sosok lain disana. “Kamu sedang mencari apa, Le ?” tanya papa.
            “Pa-ma, apa yang sebenarnya terjadi ? dimana Lia sekarang ? Flora-Flora dimana, pa-ma ? Lia tadi mimpi aneh tentang Flora. Pa-ma jawab pertanyaan Lia, dimana Flora ?” mama menangis dalam pelukan papa. Kulihat papa memandangku dengan muka nanar, sembari mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
            “Kamu yang sabar ya. Flora...” ucap papa mengambang. Aku semakin tidak sabar dibuatnya. Aku mencoba bangkit dari ranjangku, aku tak perduli pada kepalaku yang terasa masih berat, yang kuperdulikan hanyalah Flora !!!
            “Jangan banyak bergerak, Le, lukamu masih belum kering setalah melakukan operasi lusa lalu.” Ucap seseorang yang tiba-tiba masuk kedalam ruang kamar tempatku dirawat. Miko ? raut wajahku berubah ketika melihatnya saat ini, kulihat Miko juga terlihat seperti merasa tidak nyaman.
            “Apa yang terjaddiiii !?” ulangku kali ini dengan suara yang lebih keras.
            “Kamu yang sabar, Le.” Jawab Miko.
            “Kenapa ? buat apa aku harus sabar !?” bentakku tanpa sadar. Aku merasa kehilangan kendali. Semua orang yang berada didalam ruangan ini mendadak menjadi bisu, mereka menatapku prihatin. Aku terguncang dengan peristiwa ini, aku tidak percaya. Tuhan, cobaan apa lagi ini ?
            Aku duduk bersimpuh diatas tanah pemakaman yang masih basah. Kedua mataku tidak menangis, tetapi sesungguhnya hatikulah yang menangis. Tangan kananku menabur bunga diatas tanah ini sedangkan pada tangan kiriku tergenggam erat sebuah surat yang sudah lecek disana-sini. “Aku telah kehilangan seorang sahabat, aku bodoh karena tidak bisa menjagamu. Seharusnya yang berbaring ditempat ini adalah aku bukan kamu, Ra. Aku merasa berhutang budi padamu, aku merasa bersalah.”
            “Sayang, ayo pulang udah sore nih, ntar mama sama papa kamu cemas lho.” Ucap suara berat dari samping kananku. Aku menatap Miko sekilas lalu beranjak untuk meninggalkan tempat ini.
            “Selamat tinggal, Ra, aku tidak akan melupakanmu.” Ujarku tulus, kemudian menyamakan langkah kakiku disamping seorang cowok yang telah menjadi kekasihku. Dia adalah Miko, seseorang yang kehadirannya telah banyak mengajarkan pengalaman hidup yang berharga. Seseorang yang sama-sama berarti bagiku dan Flora, seseorang yang telah mengenalkan arti cinta yang sesungguhnya kepada kami berdua.
            “Aku sudah bertekad apapun yang terjadi aku akan selalu menjaga Miko untuk kamu, untuk kita. Sebagaimana yang tertulis didalam suratmu ini. Sosok Miko nyata bagiku, dan maya bagimu, tetapi sesungguhnya Miko adalah milik kita berdua.”

No comments:

Post a Comment