Saturday, November 26, 2011

Cerpen : Venda Intan Pratama ( ‎@vendaintan )

JUARA I - LOMBA SEPTEMBER di EKC
(ngelanjutin novel mbak Esti Kinasih dengan versi sendiri dalam bentuk cerpen)


      LANJUTAN JINGGA DALAM ELEGI


Saat mendengar peringatan dari Ata yang notabane adalah saudara kembar Ari pagi itu, hidup Tari semakin tidak tenang. Tari memang tak menceritakan prihal kedatangan Ata pada Ari, tetapi Tari menceritakannya pada Fio yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri.
“Masa iya sih si Ata ngomong kayak gitu, Tar ? lo gak salah denger ?” tanya Fio sambil menyeruput es jeruknya.
“Gue denger sendiri dia bilang kayak gitu, kuping gue masih normal kali, Fi !!!” protes Tari sewot.
“Iya-iya maap dah, emm tapi lo udah bilang ke kak Ari tentang ini ?”
“Nah itu masalahnya, si Ata itu gak ngebolehin gue bilang ke kak Ari. Ih... kembar yang bener-bener ngeselin deh !”
“Siapa sih Tar, yang ngeselin ?” suara berat yang begitu dikenal Tari dengan baik mendadak mengejutkannya, saking kagetnya Tari sampai menoleh untuk memastikannya agar lebih jelas.
Tubuh jangkung nan menjulang Ridho berdiri setengah membungkuk disisi kanan Tari sontak membuatnya tak berkutik. Wajah yang nampak begitu dekat dengan wajahnya itu, kini menatapnya seolah-olah menuntut penjelasan untuk kata-kata yang dilontarkannya tadi.
“Hei kok bengong ? terpesona sama ketampanan gue ya ?!” ucap Ridho seraya menggoda Tari yang masih diam seribu bahasa disampingnya. Mendengar perkataan Ridho, tak ayal membuat wajah Tari memanas dan mungkin saat ini sudah menyaingi kepiting rebus.
Pede banget ni orang. Edan. Dumel Tari sambil menatap kesal pada kacung setia Ari yang kini masih menatapnya dengan pandangan menggoda
“So...” celetuk Ridho lagi sukses membuyarkan lamunannya.
“So,” Tari masih tak yakin mau menjawab apa, matanya yang bulat jelalatan mencari alasan yang mungkin tanpa disadarinya... “Emm... Kak Ari tuh yang ngeselin.” Jawab Tari spontan sambil ditunjuknya Ari yang sedang menggoda Veronica and the gank di lapangan seberang.
Ridho mengikuti arah pandang Tari, sesaat alisnya saling bertaut kemudian terangkat sebelah dan senyum lebar tersungging di wajahnya. “Lo serius, Tar, !? lo cemburu ya ?”
Belum sempat Tari menjawab, seruan Ridho lagi-lagi mengejutkannya. “Ri, jangan godain mereka terus, ada yang gak seneng ngelihatnya nih. Katanya, CEMBURRRUUU !!!” seruan Ridho melengking ke seantero penjuru lapangan. Semua mata kini tertuju pada Ridho, kemudian beralih pada sosok cewek imut dengan asesorisnya yang serba oranye dari ujung rambut sampai ujung kaki yang sedang berdiri tanpa ekspresi di samping Ridho.
Tari pucat dan semakin pucat lagi saat mengetahui Ari sedang berjalan menghampirinya dengan senyum kemenangan yang tercetak jelas di matanya bukan di bibirnya. Tari melirik sekilas ke arah Veronica and the gank terlebih lagi Veronica yang kini sedang menatapnya dengan pandangan membunuh. Tari semakin lemas dibuatnya, bakal ada masalah lagi nih. Gara-gara kacung tengil yang satu ini. huh ! Rutuk Tari dalam hati.
Fio yang sedari tadi hanya diam kini ikut cemas saat didapatinya wajah Tari yang semakin pucat. “Tar, ayo buruan kabur.” Ajaknya sambil setengah menarik kemeja putih Tari. Tak ada reaksi, kali ini Fio menyenggolnya sedikit lebih keras hingga membuat Tari menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan.
“Siapa Dho, yang cemburu ?” pancing Ari ketika sudah sampai dihadapan Tari, Ridho, dan Fio. Ridho enggan menjawab karena dia tahu Ari hanya berbasa basi, sebagai jawaban yang cukup sederhana alias simpel untuk menjawab pertannyaan Ari, Ridho hanya melirikkan matanya ke arah Tari yang masih tertunduk.
“Apa bener Tar, yang dikatain sama Ridho kalo elo, CEMBURU ?” adanya nada penekanan di kata terakhir semakin membuat Tari merasa terpojok.
“Diem berarti iya, bos !” celetuk Oji yang tahu-tahu sudah ada di sebelah Ridho.
Tari semakin tertunduk, pasalnya gak hanya kelas 10 dan 11 saja yang ada di lapangan ini, melainkan juga ada angkatan Ari dan juga astaga, VERONICA !
                “Iyaaa... gue cemburu. Puas lo !!?” teriak Tari tak terduga bahkan Fio sempat terkejut mendengarnya. “Yuk, Fi...” Tari setengah menarik lengan Fio supaya menjauh atau bahkan menghilang saja dari sana untuk menuju ke tempat yang... yaa setidaknya cukup untuk menetralkan emosi.
                Gue seneng ngelihat lo kayak gini,  itu nunjukin perasaan lo yang sebenarnya ke gue. Ari tersenyum menatap punggung yang semakin menjauh itu.



                Mereka berdua berdiri dengan tubuh menempel rapat di dinding pembatas koridor di depan gudang. Satu-satunya tempat favorit mereka sekaligus tempat yang aman untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia dan juga aman dari jangkauan Ari.
                Tari bersedekap, kemudian mendongak menatap tanpa minat ke arah atap gedung instansi negara yang berdiri kokoh di samping gedung sekolah mereka. Matanya menerawang jauh entah kemana, dan wajah itu, wajah itu masih pucat. Ia berdiri sedikit membungkuk di samping Fio yang sedari tadi hanya memperhatikannya tanpa berani menegurnya.
                “Gue tolol, kenapa tadi gue keceplosan ngomong kayak gitu didepan kak Ari pula.” Tari memulai pembicaraan.
                “Hah ?! emangnya lo tadi serius, Tar ?” Fio memandang Tari dengan kening berkerut. “Lo beneran cemburu ? apa itu artinya lo bener-bener suka sama kak Ari ?” tanya Fio pelan.
Tari memandang Fio dengan perasaan campur aduk dan serba salah, “Gue juga gak tau, Fi, gue bingung dengan perasaan gue ke dia akhir-akhir ini.”
                “Jangan bilang kalo lo sukanya sejak lo ikut ngebuntutin kak Ari jemput mamanya sama Ata di bandara waktu itu ?” selidik Fio.
                “Mungkin,” jawab Tari sekenanya. Setelah itu mereka hanya berdiri diam, larut dalam pikiran masing-masing.
                Tubuh menjulang Ari berdiri rapat di dinding bawah koridor. Seseorang yang sedang mereka bicarakan saat ini, tanpa sepengetahuan mereka telah mendengar sebuah pengakuan singkat yang mampu membuat hatinya bergejolak senang. Tanpa meninggalkan bunyi sedikitpun Ari berlalu meninggalkan tempat itu dengan senyum yang semakin mengembang di bibirnya.



                Tari gugup, ia memperhatikan bola basket yang berada tak jauh dari tempat Veronica berdiri yang saat ini sedang menatapnya tajam. Tari menelan ludah dengan susah payah, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa ia menghampiri dan memungut bola itu.
                “Permisi kak.” Katanya canggung, kemudian ia buru-buru berbalik ingin segera menjauh dari tempat itu.
                “Belagu banget lo jadi cewek !!” ejek Veronica membuat langkah kaki Tari terhenti, ia membalikan tubuhnya menghadap Veronica dengan perasaan tak menentu.
                “Lo sadar gak sih, lo itu bagaikan debu kecil yang kebetulan aja nempel di baju Ari. Sama sekali gak terlihat dan gak berharga. Lo paham kan maksud gue ?” Veronica tersenyum sinis semakin memperlihatkan kepicikannya, cewek itu meninggalkan Tari yang masih bergeming di tempatnya. Matanya buram oleh air mata yang menyeruak ingin keluar, tetapi ia buru-buru mengusap matanya sebelum air mata itu sempat terjatuh. Ia berbalik menuju kearah teman-teman sekelasnya, tetapi langkahnya terhenti karena terhalangi oleh tubuh tinggi sang pentolan sekolah.
                “Meskipun elo kecil atau bahkan gak berharga sekalipun, gue akan selalu memperhatikan elo, Tar,” Ari mengucapkan itu dengan sangat tulus, membuat Tari luluh sejenak sampai ia tak menyadari kedua lengan kokoh itu mengurungnya sangat erat kedalam hangat kedamaian tubuh itu. “Gue sayang elo.” Sambungnya lirih. Benar-benar tak disangkanya, kali ini Tari tak berontak yang ada Tari malah menangis di dalam pelukan itu.



                Seorang anak kecil berusia sekitar 8 tahun dengan polosnya membuka dan mengobrak-abrik isi laci kerja milik sang papa, tentu saja hal itu tak diketahui papanya ataupun orang lain. Ia menarik selembar kertas yang sangat menarik minatnya untuk membaca isinya. Dengan mengandalkan memori kecil, ia mengingat tulisan yang tercetak dengan huruf besar 3 nama sekaligus : “MATAHARI JINGGA, MATAHARI SENJA, JINGGA MATAHARI”. Yang terakhir begitu mirip dengan namanya, begitu serupa, tetapi ia yakin yang dimaksud bukan dirinya.



                Ari keluar dari halaman rumahnya lengkap dengan jaket dan helm hitamnya, ia segera menaiki motor dan menstarternya. Bunyi raungan motor yang begitu berisik dan sangat memekakan telinga terdengar hingga ke penjuru kompleks, tetapi Ari cuek yang ada ia malah menggas motornya dengan kecepatan tinggi. Tanpa disadari Ari, sebuah motor hitam lain mengikuti laju motor Ari dengan jarak yang begitu terjaga. Lengkap dengan jaket dan helm warna hitam yang membungkus kepalanya sehingga menyamarkan pemiliknya.
                Motor yang dikendarai Ari menikung tajam di sebuah belokan setelah ia keluar dari jalanan kompleks. Jalanan terlihat sepi, Ari menggas motornya semakin gila-gilaan. Tiba-tiba dari arah samping kanan muncul sebuah motor hitam yang memotong jalannya, Ari terbeliak kaget dan segera mengerem motornya. Ari nyaris jatuh jika kakinya tak segera mengimbangi berat motor.
                “Shit !” pekiknya ketika mengetahui siapa yang telah memotong jalannya.
                “Apa kabar sobat lama ?,” sapa suara itu. “kaget ya ? maaf ya, tadi gue SENGAJA !” tandasnya.
                “Bangsat lo ! apa sih mau lo, hah !?”
                “Mau gue, “ dia berhenti sejenak. “Balas dendam ke elo, bego !!”
                “Emang salah gue apa sih ? gue bener-bener bingung sama jalan pikiran orang gak waras kayak elo. Bener-bener gak ada bosennya cari gara-gara terus ke gue” Tukas Ari tak mau kalah.
                “Gue gak akan pernah bosen kalo itu menyangkut elo. Lo sekarang gak bisa ngancem-ngancem gue karena pion lo, Gita, sekarang udah pindah dari sekolah jahanam lo itu dan sekarang gue bebas mau bales dendam ke elo.”
Ari semakin panas mendengar makian yang bertubi-tubi keluar dari mulut Angga. Dia tahu betul, Gita sepupu Angga, telah pindah sekolah 2 hari yang lalu, jadi dia sama sekali tak terkejut mendengarnya. Ari tersenyum sinis tidak dengan bibirnya saja, tetapi juga dengan kedua matanya. “Silakan kalo itu membuat lo senang...”
Angga maju menghampiri Ari yang tetap berdiri tenang disamping motornya yang dibiarkannya rebah di pinggir jalan. Tangan kanannya terkepal erat, langkahnya semakin lebar ketika jarak yang tersisa hanya tinggal beberapa meter saja dan Ari... tetap bergeming. Tangan itu sudah melayang ke udara siap untuk memukul seseorang yang memang sudah menjadi incarannya sejak dulu, Ari memejamkan kedua matanya masih dengan sikap yang dibuat sesantai mungkin, hal itu semakin membuat Angga marah.
                “Tunggu...!!!” teriakan seseorang mengejutkan keduanya, mereka sama-sama berbalik untuk mengetahui pemilik suara itu. Mereka terkejut ketika melihat sosok itu.
                “Ata ?” ucap Ari nyaris berteriak saking terkejutnya. Sedangkan Angga hanya diam sibuk dengan pikirannya sendiri. Ata, berdiri tenang dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.
                “Iya ini gue, Bro,” Ata mengalihkan pandangannya kepada Angga yang tetap berdiri didepan Ari. “Dia Ari adik gue, SODARA KEMBAR GUE. “ kata Ata tegas saat mengatakan bahwa Ari adalah sodara kembarnya, tak disangka efeknya begitu besar bagi Angga. Masih dengan senyum yang semakin tercetak lebar di bibirnya, Ata kembali melanjutkan, “Lo salah kalo nyangka Ari adalah gue, lo salah kalo musuhin Ari karena musuh lo yang sebenarnya adalah gue, MATAHARI JINGGA bukan MATAHARI SENJA.” Jelasnya
                “Maksud lo ?” tanya Ari sama sekali tak mengerti. Ia melirik ke arah Angga yang masih mematung di tempatnya. Yang jelas Angga terlihat benar-benar terkejut.
                “Jadi gini bro,” kata Ata menjelaskan. “Angga ngira lo itu gue, dia gak tau kalo kita itu sebenarnya sodara. Seenaknya aja dia musuhin lo, gue gak bisa terima itu karena lo adik gue!”
                “Masalah yang sebenernya itu apa sih ?” Tanya Ari lagi masih belum ngeh.
Ata tersenyum datar. “Jadi gini ceritanya, dia naksir sama seseorang yang juga gue taksir waktu itu dan gak taunya tuh cewek juga naksir gue dan lebih milih gue dari pada dia. Asal lo tau, Ri, cewek itu adalah...” Ata diam sesaat berusaha untuk menetralkan emosinya. “Veronica !”
                “Apa ?!!” Ari memandang kearah Ata dan Angga secara bergantian. “Jadi lo sebelumnya udah kenal sama Vero ?” tanyanya pada Ata, yang ditanya hanya mengangguk. “Pantesan aja tuh cewek selalu ngintilin gue, gak taunya kalo tuh cewek pernah punya hubungan sama elo.” Kata Ari sedikit mengejek.
                “Eittss jangan salah sangka dulu, gue gak ada hubungan apa-apa kok sama Vero. Kita cuman sekedar naksir doang karena gue keburu pindah ke Malang sebelum sempat merealisasi hubungan kita.” Ata berusaha menjelaskan semuanya sampai detail, sedangkan Ari cuman manggut-manggut tanda mengerti.
Angga menatap Ari dan Ata tajam tetapi hanya sesaat, setelah itu Angga meninggalkan keduanya tanpa berkomentar apapun. Sepeninggal Angga, Ari dan Ata tersenyum lega. “Tumben tuh anak gak nyolot sama kita, Kalo itu sampai terjadi kita habisin aja tuh anak”
                “Kita ? lo aja kali, Ri, gue gak mau lagi berurusan sama si tengil satu itu. Udah bosen gue, bagi gue cukup hanya sekali aja.” Kata Ata kalem. Ari meringis, kemudian menghampiri Ata yang sedang bersusah payah membenarkan letak posisi motor Ari yang rebah di pinggir jalan.
                “Biar gue aja yang betulin, lo gak kebiasaan megang yang kayak beginian.”
Ata mendengus jengkel. “Yaudah ni angkat sendiri !”
Tawa Ari meledak. “Hahaha... gitu aja marah. Eh ngomong-ngomong kok lo bisa tau sih kalo gue lagi disini dalam keadaan bahaya pula ?” tanya Ari di sela-sela tawanya.
                “Feeling gue gak enak aja waktu itu.” Jawab Ata sekenanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengarang sebuah alasan saat ini karena apa yang di bicarakannya sama sekali jauh dengan kenyataan yang sesungguhnya. Gue minta maaf, Ri, karena gue udah gak jujur sama elo. Sebenernya tadi gue habis ketemu sama bokap dan kebetulan aja gue ngelihat elo sama Angga disini.
                “Kok bengong sih ! buruan naik, panas nih.” Gerutu Ari membuyarkan lamunan Ata.
                “Gue aja yang bonceng. Minggir sana.”
Ari menaikkan sebelah alisnya. “Emang lo bisa?”
Ata menoleh menghadap Ari yang sedang menatapnya tak yakin. “Udah percaya sama gue. Cerewet amat sih lo jadi orang. Sekarang mau kemana nih ?”
                “Terserah, gue percaya sama elo.”
                “Sip deh kalo gitu. Pegangan yang kenceng ya, ngebut nih.” Ata melajukan motor hitam Ari dengan kecepatan yang benar-benar menyaingi kecepatan Ari.



                “Sebenarnya gue punya salah apa sih sama lo, Ta ? kenapa lo jadi benci sama gue ?” tanya Tari suatu siang saat keduanya berada di tepi lapangan basket yang kebetulan sedang sepi. Sejak kemarin Ata sudah resmi tercatat menjadi siswa baru di SMA Airlangga. Berkat pertemuannya dengan papanya lusa lalu, ia akhirnya bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Tentunya papa sudah tahu-menahu soal pertemuan Ari dengan Ata dan Mamanya seminggu yang lalu karena Ata sendiri yang menceritakannya.
Ata tersenyum sekilas. “Gue sebenernya gak ngebenci lo kok, Tar, gue cuman sakit hati aja sama elo. Asal lo tau gue sama Ari jadi kayak gini itu gara-gara elo !”
                “Gue gak ngerti maksud lo.” Kata Tari sambil menggeleng pelan, matanya mulai buram oleh air mata.
                “Biar waktu yang kasih tau jawabannya ke elo kalo memang udah waktunya elo untuk tau yang sebenarnya. Untuk saat ini anggap aja kita gak pernah kenal dan gue mohon sama elo jauhin Ari karena gue gak mau ngelihat hidup adik gue tambah ancur.” Ata meninggalkan Tari menuju keruang kelasnya di sisi sebelah kiri koridor tanpa sekalipun menoleh ke belakang lagi. Kata-kata Ata hanya sederhana, tetapi sukses membuat Tari sedih dan semakin terpuruk.
                Gue bener-bener gak ngerti maksud lo, Ta, dan kalo lo nyuruh gue untuk ngejahuin kak Ari gue beneran gak bisa. Karena gue udah terlanjur...

                Tari melangkahkan kakinya tanpa minat. Urusannya dengan Ata semakin rumit dan tak akan semudah membalikan telapak tangan untuk menyelesaikannya. Tari menghembuskan napasnya, ia berharap ini cuman mimpi buruk dan segera hilang ketika ia terjaga. Ketika mendekati pagar rumahnya Tari baru sadar didepan rumahnya terparkir motor hitam yang begitu di kenalnya. Motor itu milik Ari. Tumben kak Ari dateng ke rumah gak ngasih tau gue dulu. Batinnya.
                Tari melangkahkan kaki memasuki teras rumahnya, tetapi ia berhenti mendadak saat mendengar pembicaraan Ari dan mamanya di ruang tamu. Tari menajamkan pandangan matanya menembus kelambu untuk melihat bayangan mama dan Ari yang  sedang duduk di ruang tamu. Perhatiannya terpusat total pada pembicaraan mereka berdua.
Ari terdiam, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Di tangan kanannya terlihat sebuah foto lama yang sudah berwarna kekuningan dan sedikit lecek dibagian sudut-sudutnya. Dalam foto itu terlihat 4 orang yang sedang tersenyum bahagia penuh cinta dan kasih, kehangatan dalam foto yang diambil saat usia Ari menginjak 7 tahun itu masih bisa dirasakannya walaupun samar. Ari tersenyum sekilas mengenang kejadian dalam foto itu.
 “Ana dan Alex, mereka berdua adalah sahabat tante, Ri, waktu masih tinggal di desa. Kita sama-sama penggila sunset terutama Alex, papamu. Tante sama mamamu sangat pintar menjahit, dan sekarang kamu lihat sendiri kan mesin jahit yang ada di lemari kaca itu mirip sekali dengan punya mamamu. Itu hadiah dari nenek Tari yang ada di desa, begitu pula dengan mamamu karena sangat berbakat dalam urusan menjahit, nenekmu juga memberinya sebuah mesin jahit,” Mama Tari terus menjelaskan sedangkan Ari hanya mendengarkan penuh minat. “papa dan mamamu adalah orang-orang yang hebat, mereka saling mencintai sejak duduk di bangku kelas 1 SMA. Hubungan mereka sangat awet, tante aja sampai iri melihatnya, Gurau mama Tari.
“Tetapi hubungan mereka terlalu bebas, sampai pada suatu hari mamamu ketahuan hamil, padahal waktu itu umurnya masih sangat muda yaitu 19 tahun sedangkan papamu 20 tahun. Tante ikut prihatin saat itu dan bingung harus melakukan apa untuk mereka. Untungnya papamu adalah lelaki yang bertanggung jawab, ia mau menikahi Ana meskipun resikonya sangat besar karena saat itu ia belum bekerja. Saat kehamilan Ana menginjak 5 bulan, Ana dan Alex memutuskan untuk pergi ke Jakarta karena bagi mereka mencari pekerjaan di Jakarta lebih mudah di bandingkan dengan di desa,
“Tante mendapat kabar bahwa mamamu telah melahirkan anak kembar yang begitu lucu bernama Jingga dan Senja, bagi tante itu adalah nama yang sangat unik, tetapi tante tau mengapa Ana dan Alex menamai bayi mereka dengan nama itu. Tante juga mendapat kabar bahwa Alex sudah mendapat pekerjaan bahkan termasuk dalam jajaran orang-orang penting di perusahaannya, tante sangat bahagia mendengarnya. 1 tahun kemudian tante menikah dengan papanya Tari, tante dan om juga memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan alasan yang sama seperti orang tuamu. JINGGA MATAHARI, lahir tepat pada tanggal dan bulan yang sama seperti si kembar identik Jingga dan Senja, tetapi umur mereka berbeda 2 tahun. Sejak kelahiran Tari, Tante terlalu sibuk mengurusi rumah tangga tante sehingga tante mulai kehilangan kontak dengan orang tuamu sampai sekarang bahkan tentang perceraian orang tuamu tante juga baru tau. Maafin tante ya, Ri.” Ucapa mama Tari tulus.
“Gak papa kok, Tan, Ari ngerti kondisi tante waktu itu.” ucap Ari pelan, air matanya mulai mengalir di pipinya, mama Tari menggeser tubuhnya mendekati Ari dan memeluknya untuk sekedar menenangkan anak lelaki yang berada dalam pelukannya saat ini.
“Bahkan mungkin perceraian orang tuamu karena disebabkan oleh tante,”
deg- jantung Ari serasa berhenti berdetak. Apa maksud dari kata-kata nyokap Tari tadi ? tanyanya dalam hati, kemudian terjawab semua apa yang menjadi beban pikiran Ari selama ini, tentang sebab perceraian kedua orang tuanya.
                “Tante melahirkan Geo saat umur Tari menginjak 5 tahun. Selang setahun kemudian papa Tari meninggal, waktu itu tante sangat sedih dan bingung, bagaimana tidak mengurus 2 orang anak yang masih kecil-kecil sedangkan pekerjaan tante hanyalah seorang tukang jahit. Tiba-tiba uluran tangan papamu datang, tante gak tau persisnya pertemuan itu seperti apa yang jelas saat itu Alex sedang menghadiri undangan keluarga yang kebetulan juga tetangga tante. Mungkin Ana cemburu karena Alex selalu memperhatikan tante dan anak-anak tante. Sekali lagi tante minta maaf, Ri, tante beneran gak ada hubungan apa-apa dengan papamu.” Mama Tari menyeka air matanya yang mulai turun. Ari hanya diam, menatap kosong pada lembaran foto yang sedari tadi di genggamnya hingga bertambah lecek.
                “Mama,” kata Tari mengejutkan keduanya. “Apa bener yang mama katakan tadi ?” mama Tari hanya diam membisu. “Kenapa sih, ma, jadi seperti ini ceritanya ?” lanjut Tari penuh emosi.
Ari berdiri berusaha menenangkan Tari yang masih sangat shock. “Ini bukan salah nyokap lo, Tar, ini udah takdir.”
                “Maafin mama, Tar, mama gak bermaksud seperti itu.” kata mamanya sambil berusaha meraih tubuh Tari, tetapi Tari menolaknya. Tari berlari keluar, untuk saat ini hatinya benar-benar menangis. Ternyata semua gak sesuai dengan apa yang diharapkannya selama ini. sementara di belakangnya, Ari terus mengejar Tari yang masih berlari dengan kalapnya.
                “Tar, tunggu !” teriak Ari. Saat mendengar teriakan tersebut kaki Tari mendadak berhenti. Ari segera menyusul langkah Tari yang tinggal beberapa meter di depannya. Dengan satu gerakan cepat Ari merengkuh tubuh kecil Tari ke dalam pelukannya.
                “Gue udah tau semuanya sekarang. Ternyata yang dimaksud Ata adalah ini, gue bener-bener gak nyangka.” Ucap Tari lemah masih dengan sesenggukan dalam pelukan Ari.
                “Emang Ata ngomong apa aja ke elo ?”
                “Ata gak ngomong apa-apa ke gue, tapi sepertinya dia emang udah tau rahasia ini.”
                “Tar, gue mohon ke elo, elo jangan marah ya ke nyokap lo. Nyokap lo gak bermaksud seperti apa yang lo sangka.”
                “Emang menurut kak Ari, gue nyangka nyokap gue seperti apa ?” tanya Tari sudah mulai tenang.
                “Gue kira... gue kira lo bakal nyalahin nyokap elo dengan ngatain kalo nyokap lo itu perebut suami orang.” gumam Ari pelan sedikit salah tingkah.
                “Sadis banget sih !” gerutu Tari tak terima.
                “Emang, bahkan awalnya gue sempet ngira kalo kita itu sodaraan, tapi untungnya gak jadi.”
                “Kok bisa untung ?”
                “Ya untunglah karena itu tandanya kalo gue masih punya kesempatan sama elo.”
                “Ihh ! pede banget sih jadi orang, belum tentu juga gue mau sama kakak.”
Ari terdiam sesaat, kemudian ia menundukan kepalanya mendekati kepala Tari. Tari hanya menatap kosong pada wajah yang semakin dekat itu, satu kecupan Ari mendarat ringan di pipinya tanpa bisa dicegah oleh Tari. Semburat warna merah menjalari pipi Tari, seluruh tubuhnya bergetar hebat.
                “Emang lo gak mau sama gue, hah ? tapi gue bakalan tetep maksa lo agar lo mau sama gue.”
                “Gak usah di paksa. Gue mau kok sama kakak.”
                “Hah !? apa ?? gue gak denger, coba lo ngomong sekali lagi, siapa tau gue aja yang salah nangkep maksud lo.” Ujar Ari sambil mendekatkan telinganya ke Tari.
                “Dasar budek,” omel Tari. “Kak Ari, sebenernya aku SAAYANNGGG banget sama kakakkk !” teriak Tari.
                “Siiipp. Aku juga sayang sama kamu banget banget banget malah. Udah nih ?”
                “Apanya ?”
                “Kamu kan tadi ngambek, udahan kan ngambeknya ? ayoo buruan aku antar kamu pulang, Kasihan tuh mama udah cemas.”
                “Idiih... manggil mama segala, emang kakak siapanya ?”
                “Calon menantunya.” Jawab Ari asal hingga membuat pipi Tari semakin memanas. Hari ini Ari benar-benar bahagia tak disangkanya cinta yang dia pendam sejak dulu akhirnya terbalaskan juga.
Dari kejauhan sepasang mata sedari tadi sedang memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Bibir tipis itu kemudian mengembangkan senyum sebelum akhirnya berlalu dari tempat persembunyiannya. Gue rasa semuanya udah berakhir,  Gumamnya.


Epilog...
          Ana, Diana, dan Alex, 3 orang sahabat yang mempunyai hobby sama yaitu menyaksikan matahari terbenam. Kegiatan Itu rupanya sudah menjadi rutinitas mereka setiap sore harinya setelah pulang dari sekolah. Mereka rela meskipun harus pulang terlambat yang penting bagi mereka bertiga adalah menjadi saksi kebisuan bias jingga langit sore yang mengantarkan kepergiaan sang matahari ke peraduannya. Itu saja.
                Alex menyodorkan secarik kertas kepada Ana, sesaat Ana terlihat bingung namun ia paham tentang maksud 2 patah kata yang ditulis Alex disana. Ana terlihat sedang memikirkan sesuatu, kemudian ia tersenyum puas dan segera menuliskan sesuatu diatas kertas itu.
                Ana menyodorkan kertas itu pada Diana, Diana awalnya nampak bingung tetapi dia akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh kedua sahabatnya itu.
                “Sip !” kata Alex puas ketika ia menerima kembali kertas itu dari Diana dan membacanya sekilas. “MATAHARI JINGGA, MATAHARI SENJA, JINGGA MATAHARI, benar-benar nama yang bagus.”
                “betul banget, Lex.” Teriak Ana senang.
                “Nama ini akan dipakai kelak untuk nama anak kita masing-masing, kalian setuju ?!”
                “Setuju !!” jawab Ana dan Diana bersamaan.

#TAMAT

No comments:

Post a Comment