Saturday, November 26, 2011

Cerpen : Desy Nurhikmayani

                      BECAUSE OF ME

Jakarta, 15 Maret 1999

Aku terkejut mendengar suara benda jatuh yang sangat keras dari kamar kak Bina dilantai atas. Beberapa hari ini dia memang agak berbeda dari biasanya jadi lebih arogan dan sering banget melempar benda kepada orang yang membuatnya marah. Dan keterkejutanku pun semakin kuat saat kulihat seisi kamar kak Bina bagaikan kapal pecah, semua benda berserakan dimana – mana, cermin besar dikamarnya pun pecah ditambah lagi kulihat kak Bina menangis dengan berlumuran darah. Kuhampiri dan kupeluk dia tapi, seperti biasa dia memberontak dan mendorongku hingga membentur tembok, disinilah kelemahanku kambuh kembali. Darah mengucur hebat dari hidungku, tubuhku lemas dan pegal seakan telah dipukul ratusan orang padahal aku hanya terbentur ditembok kamar kak Bina ini. Yah, itulah penyakit yang kuderita sejak dulu Kanker Sumsum Tulang Belakang stadium lanjut. Penyakit yang membuat segalanya berubah menjadi momok yang sangat menakutkan bukan karena waktu untuk menghirup udara segar semakin menipis. Tapi, karena semua orang yang mengetahuinya menjadikanku seorang yang tidak bisa melakukan apa-apa kecuali kesakitan. Tapi, tidak dengan kak Bina sikapnya makin memburuk setelah dia tahu penyakit yang kuderita.

“ nggak usah deh kamu berlagak jadi adik yang sok baik buat aku, kalau untuk ngurus diri kamu sendiri saja nggak pernah becus”
“ aku kan cuman mau melihat keadaan kak Bina. Lagian ngapain kak Bina beringasan gitu sampai berantakan semua?” ucapku kesakitan
“ bukan urusan kamu, lagian apa untungnya diurusin sama adik yang penyakitan seperti kamu? Yang ada hanya nyusahin”
“ kalau begitu yah sudah” sambil berusaha bangkit meninggalkan kak Bina yang masih diam ditempatnya tanpa berkata apa – apa.
Tapi, tiba – tiba belum sempat pintu kamarnya tertutup rapat terasa tangan menepuk pundakku.

“ jangan lupa ngaduh sama mama yah dhe’. Oh yah obatnya jangan lupa diminum entar kamu nggak bisa ngaduh sama mama lagi, trus jangan terlalu suka ngurusin urusan kakak” ucapnya sambil membanting pintu kamarnya
Sambil tersenyum aku berlalu, itulah kak Bina kakak yang sangat aku banggakan kepada teman – temanku dari dulu. Walau sikapnya tak seperti kakak yang aku idamkan dulu tapi, perhatiannya tidak pernah pergi dariku walau cara penyampaiannya yang sangat jauh berbeda dengan yang lain.

***
Jakarta, 22 Maret 1999

Hari ini disekolahku kedatangan tamu special, dia adalah Bagus penyanyi yang sedang naik daun sekarang ini dia datang untuk menghadiri pensis yang diadakan sekolahku dan tidak tanggung – tanggung Bella pacarnya pun ikut bersamanya. Sejak pagi tadi sekolahku sudah dipenuhi oleh banyak siswa baik dari sekolahku sendiri atau dari sekolah lain. Dari kejauhan aku melihat kak Bina bersama teman – temannya“tidak biasa – biasanya” pikirku. Kak Bina adalah orang yang paling malas menghadiri suatu acara kalau bukan karena sesuatu apalagi ini sekolahku, dia paling malas menginjakkan kaki disini. Tapi, melihatnya aku langsung menjauh dan mengambil sudut yang paling enak untuk memandang panggung musik walaupun dari kejauhan yaitu Balkon Sekolah. Tepat pukul 15.00 acara musik pun dimulai semua penonton mulai histeris saat Bagus memasuki panggung. Tapi, tidak dengan kak Bina dia hanya berdiri bersandar pada tiang depan kelas 3 ipa 1. sesekali kulihat dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang. “apa dia mencariku” pikirku kegeeran. Lalu sesaat kemudian aku menggeleng kepala tanda meyakinkan diriku bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Tiba – tiba sebuah getaran mengagetkanku, kuraih handphone yang bergetar dihadapanku, sambil tersenyum aku meraihnya.

“ iya, kak” sapaku
“ kamu dimana?” tanyanya sinis
“ disekolah kok”
“ jangan gabung ketengah nanti penyakit kamu kambuh lagi, lagian sudah tahu kamu ini cewek penyakitan masih aja nekat kesekolah pas sekolahmu lagi ramai begini”
“ iya, nggak gabung kok ini malah sendirian. Memangnya kak Bina dengar suara musik sekeras yang terdengar ditempat kak Bina?”
“ bodo amat tapi, yang jelas kakak nggak mau dengar ada orang yang pingsan disini dan orang itu kamu. Ngerti?”
“ iya”
Tut…tut…tut…
Lagi dan lagi perhatian itu datang tanpa aku memintanya walau caranya sedikit agak berbeda. Sesaat kemudian aku merasa seseorang telah duduk manis disebelahku. Aku menoleh dan merasa asing dengan orang ini. “Mungkin anak sekolah lain” pikirku.

“ hai, ganggu yah?” sapanya
“ ah, nggak kok biasa aja, cuman kaget aja kok tahu tempat ini kan bukan anak sekolahan sini”
“ oh, iya sih cuman pas noleh keatas pengennya lihat langit eh malah lihat kamu  duduk sendiri disini. Yah aku kesini aja” jelasnya
“ oh, gitu”
“ oh yah, kenalin nama aku Bima” ucapnya sambil menjulurkan tangan
“ aku Adhelia, panggil saja Adhel” jawabku sambil kusambut uluran tangannya
“ nama yang se…”
“ tapi, tidak seindah orangnya” potongku
“ kok gitu? Padahal kata – kataku belum selesai loh”
“ karena kenyataanya seperti itu, yah walaupun banyak yang bilang tapi, itu hanya penilaian orang dari luarnya saja”
“ tapi, penilaian dari luar itu biasanya bener loh”
“ iya, tapi tidak semuanya kan?”
“ iya juga sih”
Entah siapa Bima ini sebenarnya, rasanya nyaman dan damai berada dekat dia walaupun ini adalah pertemuan pertama untuk kami berdua. Tapi, aku berharap semoga ada pertemuan lain lagi setelah pertemuan kami ini.

***
Jakarta, 22 April 1999

1 Bulan kemudian…..
Sebulan sudah aku mengenal Bima. Berbagi suka dan duka kapanpun aku membutuhkannya. Dan sebulan juga rasa bahagia itu tak pernah hilang dari hatiku sejak aku mengenalnya, entah rasa apa namanya ini tapi yang pasti aku tidak ingin rasa ini berganti dengan rasa yang lain. Bima bukan orang asing lagi buatku dan buat seluruh penghuni rumah karena hampir tiap hari dia berkunjung kerumah, disaat dia punya kesempatan. Untuk bercanda dan bercengkrama dengan orang – orang yang ada didalam rumah, tapi hali itu tidak berlaku untuk kak Bina. Entah mengapa dia selalu menghilang disaat Bima berkunjung kerumah. Kamarnya selalu terkunci rapat dan sunyi, tapi walaupun begitu aku selalu merasa ada sepasang mata yang mengamatiku saat aku bercanda ataupum mengerjakan sesuatu hal bersama Bima. Sekuat mungkin aku tepis perasaan itu hingga akhirnya…..

Sabtu, 12 Mei 1999

Aku mendapati kak Bina sedang berdiri dibalik pilar rumah dan mengamati Bima sambil tersenyum. Rasanya aneh melihat kak Bina tersenyum melihat seorang cowok. Tapi, kemudian senyum itu hilang saat aku berada disampingnya.

“ kenapa kak? Bima ganteng yah? Naksir yah kak?” godaku sambil tersenyum
“ apa – apaan kamu? Jangan sok tahu” bentaknya sambil menatapku tajam
“ nggak sok tahu kok. Cuman kalau kak Bina pengen kenal Bima lebih dekat sini aku kenalin, lagian…”
“ nggak usah urusin perasaan aku, urusin saja penyakit kamu” ucapnya sinis lalu berlalu meninggalkanku
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng – gelengkan kepala melihat tingkah kak Bina  yang benar – benar sangat jauh berbeda dengan kak Bina yang biasanya. Seketika kepalaku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. “ apakah ini yang menyebabkan hari itu kak Bina berkunjung kesekolahku?” ataukah “ sepasang mata yang sering memperhatikanku saat bersama Bima adalah sepasang mata milik kak Bina”.Pertanyaan yang menumpuk yang mungkin akan kudapati jawabannya sebentar lagi.

***
Jakarta, 12 Juli 1999

Braakk………………
Suara bantingan pintu yang begitu keras mengagetkanku, aku tak tahu siapa yang membanting pintu kamarku begitu keras saat memasukinya. Kumunculkan sedikit kepalaku keluar dari pintu WC untuk mencari tahu siapa yang melakukan hal itu. Dan benar saja sesuai duagaanku tak lain dan tak bukan yang melakukannya adalah kak Bina. Entah apa lagi yang membuatnya berang kepadaku. Tapi, tak kuperdulikan dia aku kembali masuk kekamar mandi tanpa memperdulikan teriakan yang memanggil namaku. Hingga suara ketukan keras dari pintu WC terdengar.

“ kalau kamu ada didalam cepat keluar, aku ingin bicara”
“ iya kak, sebentar” ucapku sambil keluar dari WC
“ lagian kenapa panggilanku tidak kamu jawab?” bentaknya ketika aku tepat berdiri dihadapannya
Tapi, pertanyaan itu hanya kujawab dengan senyuman. Malas berdebat dengan kak Bina dengan kondisi yang seperti ini.

“ memangnya ada apa kak?”
“ dengar yah dhe’ jahuin Bima, aku nggak mau dia kecewa karena kamu yang sok kecentilan ngasih dia perhatian”
“ memangnya Bima kecewa karena apa kak? aku hanya berteman dengan dia nggak lebih”
“ mau berteman atau lebih dari teman aku nggak peduli yang jelas kamu jauhin Bima. Aku nggak mau dia kecewa melihat cewek penyakitan seperti kamu pergi ninggalin dia. Lagian kamu nggak sadar yah mengapa Arga pergi ninggalin kamu?”
“ oow, karena itu kak Bina ngamuk sama aku. Memangnya kenapa kak kalau Bima kecewa? Bukannya dia bukan siapa – siapa bagi kak Bina? Harusnya kak Bina yang lebih kecewa bila aku pergi”
“ kecewa? Kalau kamu pergi? Yang benar saja, aku malah bahagia bila orang yang selalu nyusahin hidup aku pergi. Dan asal kamu tahu Bima jauh lebih berharga dibandingkan kamu” ucapnya tanpa henti menatapku
Rasanya tubuhku baru saja mendapat hantaman kuat dari ratusan orang, mendengar ucapan kak Bina barusan. Tanganku mengepal menahan sakit dan kuberanikan diriku menatap kak Bina.

“ oh, jadi ternyata dugaanku selama ini benar. Bahwa kak Bina memang benar – benar ada feeling sama Bima. Kalau segitu berharganya Bima buat kak Bina aku akan ngejahuin dia” ucapku sambil meneteskan air mata
“ bagus!!! Jawaban itu yang ingin aku dengar sejak tadi” ucapnya sambil berbalik hendak meninggalkanku
“ tapi, hanya itu yang kak Bina minta dari aku?”
“ memangnya aku harus minta apa lagi sama cewek penyakitan seperti kamu? Dan kalaupun ada aku pastikan kamu tidak akan bisa melakukannya” ucapnya sambil berlalu meninggalkanku
Aku memegangi kedua lututku di depan WC, mataku panas dan bulir air mata itupun kembali tumpah. Ini adalah air mataku yang pertama setelah sekian lama aku berseteru dengan kak Bina. Rasanya sakit mendengarnya berkata bahwa ‘ aku tidak jauh lebih berharga dibandingkan Bima”. Dadaku sesak ditambah lagi dengan darah yang tak henti mengucur dari hidungku. Tubuhku lemas dan aku tak mampu menggerakkan hampir sekujur tubuhku, mungkin ini yang dikatakan Dokter Agus kemarin bahwa seorang penderita Kanker Sumsum Tulang Belakang akan mengalami kelumpuhan total dan inilah yang tengah aku rasakan sekarang.


***
Jakarta, 20 Agustus 1999

Rasanya begitu nyaman dan damai seakan semua orang sedang memanggil – manggil namaku. Dan benar saja saat aku membuka mata disekelilingku ada orang – orang yang sangat aku sayangi. Mama, papa, kak Bina, dan Bima. Melihat Bima aku jadi teringat kejadian yang kualami hingga akhirnya aku terbaring disini. Kualihkan pandanganku kesegala arah menatap setiap sudut ruangan, menatap mama yang tak henti menangisiku, juga papa tapi hal itu tidak berlaku untuk kak Bina. Matanya pun tak tampak sembab walau aku ada disini karenanya.

“ mama aku mau ngomong berdua sama Bima, sebentar aja” ucapku lirih
“ iya sayang” ucap mama lembut sambil mengusap rambutku dengan sayang dan memberi sebuah kecupan dikeningku
Dan mereka pun berjalan beriringan meninggalkanku berdua bersama Bima walau aku tahu ada sepasang mata yang sangat tidak suka karenanya.

“ hai… Bim” sapaku lirih
“ hai Dhel’ bosan nih soalnya dari kemarin kamu tiduran meluluh. Jadi nggak ada teman buat berbagi masalah” tuturnya
“ harusnya kamu bisa berbagi sama kak Bina. Apalagi nggak ada aku. Jadi kalian berdua bisa lebih akrab dan bisa saling berbagi masalah satu sama lain” saranku
“ iya itu menurut kamu. Tapi, menurut aku nggak, lagian kakak kamu itu galak dan juteknya minta ampun”
“ itu hanya penampilan luarnya saja kok Bim, dia itu perhatian, penyayang , dan dia juga tipekal orang yang rela ngorbanin segalanya untuk orang yang dia sayang”
“ iya Dhel’ tapi, aku nggak bisa dekat dengan dia tanpa kamu”
“ kamu harus bisa Bim, karena yang ada dihati kamukan kak Bina”
“ yah karena itu aku butuh bantuan kamu Dhel’” ucap Bima
“ kalau dulu iya aku mau banget bantuin kamu, tapi sekarang giliran kamu yang harus cari tahu karena aku sudah tahu jawabannya”
“ serius? Jawabannya nyakitin nggak?”
“ yah kamu cari tahu sendiri aja sebelum terlambat”
“ siap komandan”
“ oh yah, nanti temenin aku jemput seseorang di bandara. Okay?” pintaku
“ Oke deh, komandan. Anything for you
“ yakin?”
Dan pertanyaanku itu hanya di jawab Bima dengan senyuman. Aku hanya berharap semua ini tidak akan berakhir, walaupun aku tahu hal itu akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin.

***
Jakarta, 15 September 1999

Hampir sebulan dirumah sakit rasanya kangen juga dengan suasana rumah. Tapi, mulai sekarang sudah nggak lagi karena Dokter Agus sudah memperbolehkan aku pulang hari ini. Walau dengan keadaan yang sangat jauh berbeda, pasalnya mulai hari ini aku harus menjalani hari – hariku  dikursi roda ini ditambah lagi dengan rasa sakit yang kian hari kian menjadi. Rumah tampak sepi saat Bima mendorong kursi rodaku masuk kedalam rumah yang ada hanya mbo Iyem aja yang menyambut kedatangan kami, sedangkan yang lainnya sibuk dengan urusan masing – masing, seperti papa yang sibuk dengan pekerjaanya dikantor dan kak Bina yang sibuk dengan ujian akhirnya. Aku menghirup udara segar yang sangat aku rindukan dari pinggir kolam renang yang ada disamping ruang keluargaku. Ini adalah tempat favoritku untuk mengenang semuanya termaksud kenangan indahku bersama kak Bina. Aku tidak akan mungkin menepati janjiku pada kak Bina untuk menjahui Bima dengan keadaanku yang seperti ini, tapi sudah terlanjur janji jadi semua harus segera ditepati.

“ Bim, jemput kak Bina sana” saranku
“ jemput? Diakan nggak minta jemput dhel’. Kalau aku pergi kamu siapa yang temenin?” tanyanya heran
“ ada mama kan Bim. Lagian untuk menarik perhatian seseorang segalanya nggak pakai diminta terlebih dahulu” tambahku
“ ceritanya ngusir nih?”
“ nggak!!! Lagian kalau kamu terus bersama aku disini bagaimana bisa kamu jadian sama kakak aku?”
“ iya deh, tuan putri aku berangkat” ucapnya sambil mengelus lembut rambutku
Ada rasa tidak nyaman dihatiku saat melihat Bima pergi. Entah rasa apa ini tapi, yang pasti rasa ini tidak kalah sakitnya dengan rasa yang aku alami beberapa tahun yang lalu saat melihat Arga pergi meninggalkanku. Aku membayangkan Bima seperti Arga yang pergi dan takkan kembali lagi untukku. Hampir 3 jam aku duduk termenung dipinggir kolam ini, tanpa beranjak sejak Bima pergi tadi. Tiba – tiba aku merasa seseorang memeluk pundakku dari belakang. Aku menoleh dan terkejut saat mendapati bahwa orang yang memelukku adalah kak Bina.

“ selamat datang kembali yah Dhe’” ucapnya tanpa melepas pelukannya dan sebuah kecupan sayang pun mendarat dipipiku
“ makasih kak, tapi ada apa nih kayaknya bahagia banget”
“ iyap, aku bahagia banget soalnya hari ini…”
Kak Bina melepas pelukannya dan duduk manis dikursi yang ada disebelahku.

“ aku bisa jalan sama Bima, dan dia minta aku jadi pacarnya. Yah walaupun belum kakak jawab sih” lanjutnya sambil tersipu malu
Mendengarnya aku seperti ingin menangis, sakit rasanya mendengar kabar gembira yang baru saja diucapkan kak Bina tadi. Sekuat mungkin aku menahan agar air mataku ini tak tumpah di hadapan kak Bina.

“ selamat yah kak” ucapku sambil berusaha tersenyum
“ ternyata kamu benar – benar nepatin janji kamu Dhe’ yah walau nggak sepenuhnya kamu menjauhi Bima. Tapi, yang pasti sekarang kakak tahu kalau yang ada dihati Bima itu kakak bukan kamu. Iyakan?”
“ iya, janjikan akan tetap saja menjadi janji dan mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum aku pergi” ucapku tanpa menatap kak Bina
“ memangnya kamu mau kemana?”
“ ah, nggak! Nggak kemana – mana” jawabku sambil tersenyum lebar

***
Jakarta, 1 Oktober 1999

Akhirnya kak Bina berkata iya kepada Bima, dan segalanya berubah bagiku. Bima tidak lagi bisa bercanda denganku. Sms pun tidak apalagi menelpon ataupun menyapaku disaat kami berjumpa. Yah, dia berbeda 360º dari Bima yang aku kenal dulu. Aku bahagia karena walaupun Bima bersikap seperti itu tapi, kak Bina malah sebaliknya. Sekarang sikap kak Bina jauh lebih baik dari yang dulu. Tapi, akupun tidak bisa mengingkari rasa sakit yang kurasa saat ini. Dan hari ini Bima kembali berkunjung kerumahku tapi, bukan untuk menemuiku melainkan untuk menemui kak Bina. Sudah cukup lama aku melihatnya duduk diruang tengah menunggu kak Bina.

“ tiap hari kamu hanya memandang kolam ini Dhel’?” tanyanya mengagetkanku
“ nggak juga kok hanya disaat aku ingin saja”
“ tapi, tiap kali aku kesini aku perhatikan kamu pasti sedang duduk memandang kolam ini”ucapnya sambil duduk dikursi yang ada disebelahku
“bagaimana hubungan kamu dengan kak Bina?” tanyaku mengalihkan pembicaraan
“ lumayan”
“ bagus deh, oh yah selama jadian aku belum pernah ngasih ucapan, Selamat yah” ucapku sambil menyulurkan tangan
“ makasih, dan kamu harus ngerasain juga apa yang aku rasain saat ini” ucapnya sambil menjabat uluran tanganku
“ maksud kamu?”
“ yah kamu juga harus punya someone special yang bisa ngisih hari – hari kamu jangan hanya duduk melamun dipinngir kolam kayak gini” jelasnya sambil tersenyum lebar
“ memangnya ada yah yang bisa nerima apa adanya cewek penyakitan seperti aku? Selain kamu? Kak Bina pun menyesal punya adik yang penyakitan seperti aku”
“ ada dong kenapa tidak? Didunia ini…”
Tiba – tiba pembicaraan itu terpotong oleh suara teriakan kak Bina menggelegar dari ruang tengah. Bima pun langsung meninggalkanku tanpa berkata apa – apa hanya senyuman yang terlihat di wajahnya. “ didunia ini nggak ada yang bisa nerima aku apa adanya Bim. Kecuali kamu, termaksud Arga sekalipun”gumanku dalam hati.

                                                                     ***
Jakarta, 1 Januari 2000

3 Bulan kemudian…..
Langit seakan menangis menyaksikan pemakaman kak Bina. Kak Bina pergi untuk selamanya setelah kecelakaan yang dialaminya sepulang dari acara from night sekolah. Tak ada lagi perhatian dibalik sikap – sikap kasarnya. Hatiku teriris melihat dia harus pergi meninggalkanku, aku tak tahu apa yang dirasakan mama, papa, dan Bima semuanya kehilangan sampai – sampai langitpun menangis melihat kepergian kak Bina. Hal yang paling menyakitkan buatku atas kepergiannya karena sehari sebelum kecelakaan itu….

“ kak Bina jadi pergi?” tanyaku
Yah, hubungan kami membaik seiring jadiannya kak Bina dengan Bima. Tidak ada lagi kata – kata kasarnya untukku yang ada hanyalah perhatian dan kasih sayang yang begitu berlimpah darinya. Dia tidak pernah menolak setiap aku meminta sesuatu padanya. Dia selalu mengecup keningku dan memelukku erat saat dia ingin keluar rumah bahkan mama pun heran melihatnya.

“ iya Dhe’, sayang yah kamu nggak bisa ikut pasti asyik kalau kamu ikut” ucapnya sambil membelai lembut rambutku
“ nggak papa kok kak, lagian cewek penyakitan seperti aku nggak pantas ikut from night”
“ eits,,,jangan ngomong kayak gitu. Kamu tahu kakak menyesal selama ini sudah memperlakukan kamu sebagai musuh. Kalau kakak bisa mengulang waktu Dhe’ kakak nggak bakalan pernah ngeluarin kata – kata itu. Dan asal kamu tahu kakak ingin sekali melihat kamu bahagia bersanding dipelaminan dengan orang yang kamu sayangi dan menyayangi kamu”
“ rasanya itu mustahil kak”
“ nggak , nggak boleh ada yang mustahil untuk adik Bina yang cantik ini” ucapnya sambil membelai lembut rambutku dan memberi satu kecupan sayang dikeningku
“ apa yang membuat kakak jadi seperti ini?” tanyaku sambil menerawang jauh keluar jendela kamar kak Bina
“ nggak ada, hanya saja kakak menyesal telah melakukan hal – hal yang menyakitkan kamu selama ini. Kakak iri melihat limpahan kasih sayang mama buat kamu. Maafin kakak yah Dhe’ tapi, sekarang nggak lagi kok kan sudah ada Bima. Oh yah besok kita keluar kakak punya kejutan buat kamu”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum mendengarnya. Tapi, tak pernah kusangka bahwa itu adalah pembicaraanku yang terakhir dengan kak Bina. Semua kasih sayang yang dilimpahkannya untukku berakhir karena sekarang dia sudah tidak bersamaku lagi untuk selamanya. Dia tidak menepati janjinya padaku tentang kejutan itu, walau dia memenuhi ucapannya bahwa ingin melihatku bahagia. Kak Bina mendonorkan sumsum tulang belakangnya kepadaku. Itulah mengapa aku kembali terbaring diatas kasur rumah sakit ini. Dan itu pulalah sebabnya mengapa aku hanya bisa menyaksikan pemakaman kak Bina dari rekaman video saja. Tiba – tiba Bima muncul dibalik pintu, dan menghampiriku dengan membawa sesuatu ditangannya.

“ sory Dhel’, karena aku nggak bisa jagain kakak kamu dengan baik.seandainya saja hari itu aku tidak terlambat menjemputnya,dia pasti masih ada disini”
“ nggak ada yang perlu dimaafin Bim, ini semua sudah takdir dan sebelumnya kak Bina juga sudah pamit kepadaku. Tapi, yang sangat menyakitkan karena kak Bina tidak menepati janjinya terakhirnya padaku” ucapku diringi tetesan air mata
“ janji? Mungkin maksud kamu ini?” Tanya Bima sambil mengulurkan benda yang sejak tadi ada dibalik punggungnya
“ disc? Tiket pesawat? Tapi bukan ini yang dia janjikan padaku”
“ nggak papa kita lihat saja apa isinya” saran Bima
Dan air mataku kembali mengalir saat melihat tayangan yang ada di disc itu. Didalamnya ada tempat yang paling ingin aku kunjungi dulu. Dan aku berharap bisa kesana dengan kak Bina tapi, sekarang hal itu akan menjadi mimpi belaka.

“ Adheku sayang, kakak nggak bisa lihat kamu tiap hari kesakitan makanya kakak pergi duluan. Ditempat kakak yang sekarang kakak berdoa semoga kamu bahagia berdua bersama Bima. Hanya ini yang bisa kakak berikan padamu walau itu tidak bisa membayar semua rasa sakit hati yang kamu rasakan karena kakak. Maafin kakak yah sayang atas semuanya, dan maaf karena kakak bisa menjaga kamu lagi. Dan tiket pesawat itu untuk kalian berdua. Kak Bina sayang banget sama Adhe’”
Dan sebuah kecupan manis dari kak Bina pun menjadi akhir dari rekaman video itu yang berdurasi selama 1 jam itu. Hatiku sakit mengingatnya dadaku sesak dan mataku terasa panas dan seketika bulir air mata itu pun tumpah menjadi air mata yang mengalir tiada henti. “inikah, janji kak Bina malam itu?, apa kejutan itu dics & tiket pesawat ini? atau kepergianmu kak?” gumanku dalam hati.

***
Jakarta, 7 Januari 2000

1 Minggu kemudian…
Sudah satu minggu sejak kepergian kak Bina tapi air mata itu belum juga kering karenanya. Dan sekarang mungkin rasa sakit ini akan bertambah karena Arga. Yah, sekarang aku lagi menanti kedatangannya di Bandara Soekarno Hatta bersama Bima. Diatas kursi roda ini kukuatkan hatiku untuk hal – hal buruk yang mungkin saja terjadi. Setelah 15 menit menunggu akhirnya orang yang sangat aku rindukan sejak 5 tahun yang lalu muncul dan masih sama dengan Arga yang meninggalkanku dulu, dengan style yang super cuek, tidak ada yang berubah kecuali kacamata karena dulu dia tidak bisa melakukan apa – apa tanpa kacamata itu. Tapi, sekarang tidak lagi dan hal itu membuatnya semakin jauh terlihat ganteng.

“ hai…” sapanya
“ hai juga”
“ kamu banyak berubah yah Dhe’” ucapnya kemudian sesaat setelah memperhatikanku
“ kamu juga, sudah bisa melakukan banyak hal tanpa kacamata. Dan sepertinya kacamata itu sudah jadi sejarah”
Tawanya pun meledak tak ada bedanya seperti yang dulu, sebelum seorang wanita cantik menghampiri dan memeluknya.

“ sayang, teman kamu mana?” Tanya wanita itu
“ ini, kenalin sayang dia sahabat aku yang sering aku ceritaiin dulu”
Dengan senyum yang begitu ramah dia mengulurkan tangannya padaku.

“ hai, Manda” ucapnya memperkenalkan diri
“ Adhel” ucapku sambil menjabat uluran tangannya
“ Manda ini istriku Dhel’”

Deg,,,
Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar ucapan Arga tadi. Walau tak sesakit dulu tapi, tetap saja rasa sakit itu masih ada. Dan mungkin sebentar lagi bulir air mata ini akan tumpah jika bukan karena genggaman tangan Bima yang sejak tadi berdiri dibelakang kursi rodaku ini. Dan sepertinya Arga tidak menyadari perubahan yang terjadi padaku.

“ Ga, kenalin ini Bima. Bim ini Arga” ucapku sambil menarik tangan Bima
“ Bima” ucapnya sambil mengulurkan tangan
“ Arga,” ucap Arga sambil menyambut uluran tangan Bima
“ oh yah, Bima ini siapanya kamu Dhe’?” tanyanya kemudian
“ dia ini…”
“ aku tunangannya Adhel’” ucap Bima memotong perkataanku
Dan seketika aku mendonggakkkan kepala memandang Bima yang secara tiba – tiba memberi satu kecupan hangat dikeningku. Dadaku dingin, tanganku bergetar walau akhirnya Bima hanya tersenyum melihat keterkejutanku.

“ selamat yah Dhe’” ucap Arga kemudian sambil mengulurkan tangannya
“ Thank you” sambil berusaha tersenyum aku menyambut uluran tangannya

                                                                     ***
Jakarta, 8 Januari 2000

            Aku termenung memandangi air kolam yang membiru, yang baru saja dibersihkan oleh mbo Iyem. Membayangkan kembali setiap kejadian yang kualami di Bandara Soekarno Hatta kemarin. Sudah sejak tadi aku duduk termenung sendiri disini tapi, jawaban dari semua pertanyaan yang memenuhi kepalaku sejak kemarin belum juga terjawab olehku.

“ sory, yah Dhel’” ucap Bima
Aku tersentak, entah sejak kapan dia berada disitu? Dan bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. Aku hanya memandangnya sekilas dan tak memperdulikan ucapannya tadi. Karena jujur ada sedikit rasa kecewa dihatiku atas sikapnya kemarin.

“ Aku sayang kamu Dhel’, walau mungkin kamu tidak pernah tahu itu. Aku sayang kamu bukan karena Bina yang memintanya padaku. Tapi, karena hati ini yang memintanya padaku” tuturnya tanpa henti menataku lembut
“ tapi, aku nggak. Tidak pernah ada rasa sayang untuk kamu dihatiku” ucapku tanpa berani memandang wajah Bima
“ Bohong!!! Kamu pasti bohong. Semua rasa yang ada dihati kamu aku tahu, Bina nggak mungkin salah”
“ kak Bina?” tanyaku
“ iya Bina. Dia yang memberikan segala informasi tentangmu padaku. Tak terlewat sedikitpun. Mulai dari hal yang mungkin kamu pun tidak akan pernah menyadarinya sampai hal yang paling dia takutkan tentangmu”
“ tapi, buat apa dia melakukan itu semua? Bukankah tidak ada seorang kekasih yang rela memberikan kekasihnya kepada orang lain? Termaksud adiknya sekalipun”
“ iya aku yakin memang tidak akan ada. Tapi, satuhal yang perlu kamu tahu kalau selama ini aku tidak pernah memiliki hubungan apa – apa dengan Bina hanya sebatas sahabat tidak lebih”
Plak….
Dan sebuah tamparan mendarat dipipi kanan Bima. Tamparan yang berasal dariku. Hatiku sakit mendengar ucapanya barusan.

“ seenaknya saja kamu ngomong seperti itu padaku. Setelah kakakku tiada memangnya kamu pikir kami ini bisa kamu permainkan seenak hatimu? Kalau nggak ada kak Bina, akupun nggak jadi masalah. Gitu?” bentakku sambil meneteskan air mata
“ Dhel’ bukan itu maksudku. Biar aku jelaskan dulu” bujuk Bima
“ nggak aku nggak butuh penjelasanmu. Ini dia orang yang dibanggakan kak Bina padaku selama ini. Orang yang hanya bisa memutar balikkan fakta setelah orang itu tiada. Cukup Bim, lebih baik kamu nggak disini sekarang” ucapku sambil berlalu meninggalkan Bima
Kuhapus air mata yang sejak tadi tiada henti mengalir. Aku menyusuri ruang tengah tanpa sedikitpun berniat menoleh kepada Bima, sebelum…

“ aku tahu kamu kecewa, tapi aku lebih kecewa karena kamu menyalah artikan apa yang aku bilang padamu. Seandainya dia masih ada dia pasti kecewa melihat kita seperti ini. Kamu egois Dhel’,nggak pernah mau mendengarkan penjelasanku sampai akhir” ucapnya sambil berlalu dari hadapanku
Deg,,,aku menunduk merasakan desiran aneh didadaku, seketika aku merasa bersalah tapi kekecewaanku terhadapnya jauh lebih besar. Tiba – tiba kurasakan sebuah pelukan hangat dan ciuman lembut menyentuh pipiku. Tapi, entah mengapa aku begitu ingin menoleh tapi terlambat tubuhku membeku karena pelukan dan ciuman itu.

“ Adhe’ terkadang apa yang kita pikirkan tidak sama dengan apa yang terjadi. Kakak sayang kamu dan kakak nggak ingin kamu seperti ini. Kakak nggak mau lihat kamu menderita Dhe’ jadi pliss dengerin penjelasan Bima. Karena waktu kakak nggak cukup untuk menjelaskan semuanya padamu. Kamu harus tahu setiap yang terjadi pasti ada penjelasan atas semuanya. Kakak pergi Dhe’”
Dan kembali satu kecupan lembut mendarat dipipiku. Dan desiran suara lembut kak Bina pun menghilang. Seketika aku menoleh dan yang terlihat hanya pandangan cahaya putih yang makin lama makin tak terlihat, dan segalanya pun gelap bagiku.

***

Jakarta, 10 Juni 2000

Aku merasa cahaya itu semakin terlihat jelas, dan sangat menyilaukan mata. Aku membuka mata, dan mendapati Bima sedang tertidur disamping tempatku terbaring. Aku sadar kejadian waktu itu kembali membawaku ketempat ini. Menjalani perawatan yang dari dulu telah kujalani. Bima terbangun, dan seketika menatapku dengan pandangan khawatir. Lalu, terlihat senyuman tulus dibalik wajahnya yang begitu kusut, aku tahu dia pasti sangat mengkhawatirkanku. Tapi, aku tidak bisa membalas senyuman itu karena alat bantu pernapasan yang menutupi daerah sekitar hidung dan mulutku.

“ hai,” sapanya sambil terus mengenggam tanganku
Aku hanya mengangguk mendengar sapaan itu.

“ kangen nih Dhel’, sudah hampir setengah tahun kamu tiduran disini. Kami semua khawatir. Oh yah aku hutang penjelasan sama kamu, nanti aja yah aku jelasin semuanya” ucapnya
Tapi, mendengar itu aku repleks menggelengkan kepala. Karena jujur hatiku sudah tidak bisa menunggu lagi untuk waktu yang cukup lama akan penjelasan itu.

“ kamu mau aku jelasiin semuanya sekarang?”
Seketika aku pun mengangguk. Lalu kulihat Bima menarik nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya padaku. Yang bisa kulakukan hanyalah meneteskan air mata mendengar Bima menjelaskan semuanya. “ kami tidak pernah menjalani hubungan seperti yang kamu duga selama ini. Kami menjalani ini atas dasar keinginan Bina sendiri, dia hanya ingin memastikan bahwa aku adalah yang terbaik buat kamu. Setiap kali kami menghabisankan waktu berdua yang terbahas olehnya hanyalah kamu. Dia tidak ingin melihat kamu menderita Dhel’ bahkan sampai sekarang disaat dia telah tiada. Dia kasar, sering menyakitimu  dan begitu banyak perlakuannya yang tidak bisa aku sebutkan Dhel’ karena dia tidak ingin kamu menganggap perhatian dan limpahan kasih sayangnya tehadapmu kamu artikan sebagai rasa kasihannya terhadap penyakitmu. Dia selalu memikirkan segala hal tentang dirimu bahkan mungkin hal itu tidak pernah terbersit olehmu  untuk memikirkannya. Dia the best kakak buat kamu walau mungkin kamu tidak pernah tahu itu.hampir tiap malam dia menangis ketika melihat kamu menjerit kesakitan. Hingga dia mengucapkan ini padaku “ terkadang aku tidak sanggup melihatnya seperti itu. Jika mungkin Tuhan mengizinkan aku memberikan apa yang sangat dia butuhkan, walaupun aku harus pergi meninggalkan dunia ini aku tidak akan pernah menyesal akan hal itu Bim” mungkin rasa sayangku  tehadapmu pun tidak akan bisa menyamai rasa sayang Bina terhadapmu Dhel’, tapi sekarang hanya kamu yang harus memilih kamu percaya penjelasan aku ini atau tidak”. Dan Bima pun berlalu meninggalkanku yang masih terus meneteskan air mata mendengar penjelasannya barusan. Dan itulah terakhir kali aku bertemu Bima, sebelum…

***
Dera meneteskan air mata setelah membaca buku yang diberikan oleh ayahnya tadi pagi. Sudah hampir seharian dia duduk dikursi santai yang ada dipinggir kolam renang itu. Bagian rumah yang menjadi tempat favoritnya. Dia menunduk, merasakan deru yang bergejolak didalam hatinya mengingat kembali prosesi pemakaman ibunya kemarin. Ayah mungkin akan lebih sakit daripada ini, pikir Dera. Tiba – tiba sebuah pelukan lembut dirasakan Dera, dia menoleh dan melihat ayah yang sangat dia sayangi. Ayah yang terlihat tenang dan tegar walaupun orang yang paling dia cintai didunia ini baru saja meninggalkan dirinya dan takkan pernah lagi kembali untuknya lagi. Tak sama dengan raut wajah yang dimiliki Dera saat ini.

“ kamu kenapa sayang?” ucapnya lembut sambil terus mengelus rambut putri semata wayangnya
Tapi, Dera tak menjawab pertanyaan itu, dia hanya menggeleng lemah.

“ mama itu, sama seperti kamu. Dia pasti menangis ketika dia kehilangan tapi tak mau berbagi dengan kami yang ada disampingnya. Dia hanya menulis setiap keluh kesahnya disini dibuku ini” ucapnya kemudian sambil menunjuk buku yang sejak tadi ada dipelukan Dera
“ mama tidak pernah ingin melihat orang yang dia sayangi menderita, sama dengan almarhum tante kamu, mereka semua sama hanya bedanya tante kamu lebih terbuka dengan papa dibanding mama. Tapi, walau begitu setelah kami menikah papa tidak pernah lagi melihat mama mengisi buku ini. Mungkin karena dia menyisihkan bagian kosong itu untukmu agar kelak kamu dan anak – anakmu bisa tahu kehidupan yang papa dan mama alami sebelum bersama. Papa tidak memaksa supaya kamu mengisi bagian kosong itu hanya saja papa berharap kamu mau menyimpannya untuk papa dan mama. Yah sayang?”
Dera pun akhirnya mengangguk dan menyeruak kedalam pelukan papanya. Air matanya kembali tumpah setelah mendengar ucapan papa barusan.

“ tapi, kenapa buku ini diberikan ke Dera pa? bukan disini banyak kenangan mama dan papa?” tanyanya kemudian
“ tanpa itupun papa masih bisa mengenang semua kenangan indah papa bersama mama kamu. Karena bagi papa, mama masih tetap ada disini” ucapnya sambil menepuk dada
Dan pelukan itupun makin menguat. Menguatkan hati mereka berdua yang baru saja digoresi luka yang mungkin tidak akan sembuh sampai kapanpun. Dalam pelukan itu Bima kembali membayangkan kejadian saat dia meminang Adhel menjadi istrinya. Ada senyum bahagia yang tersirat diwajahnya walau kejadian itu sudah terjadi 15 tahun yang lalu tapi, tetap saja begitu indah untuk dikenang, pikirnya.



TAMAT

No comments:

Post a Comment