Monday, December 12, 2011

Cerpen : Eka Fitria R ( @FIKADKR )

Rinai Hujan


Irin melempar sepatu dan tas-nya ke pinggir lapangan dengan frustasi, hujan mulai mengguyurnya. Dia masih mengenakan putih abu-abunya. Tiba-tiba ada bola basket yang sepertinya dilempar dari arah belakangnya.
“Temenin gue main basket.” Ucap cowok itu, tanpa mendengar kesudian dari Irin dia langsung mengoper bola basketnya ke arah Irin yang untungnya nggak lama-lama buat bengong karena tiba-tiba didatengin cowok yang sama sekali nggak dikenalnya. Walaupun sempat bingung dan mau kabur dari sana tapi akhirnya diladeni juga kemauan cowok itu oleh Irin.
“Ngapain lo ujan-ujanan di sini?” Tanya cowok itu, lalu mencoba tembakan pertama sayangnya gagal karena hanya memutari ring.
“Ujan-ujanan doang. Lo?” Jawab Irin, lalu menggiring bola dan berusaha menembakan bola, sayangnya hanya mengenai ring lalu memantul dan langsung di-rebound cowok itu dan akhirnya tercetaklah skor pertama.
“Lagi pengen nyoba sensasi main basket sambil ujan-ujanan.”
Sesaat kemudian cowok itu terjatuh karena mendapat senggolan keras dari Irin yang berusaha merebut kembali bolanya. “FOUL!” Teriak cowok itu, tapi hanya menjadi angin lalu bagi Irin. Cewek itu melakukan jumpshot dan berhasil masuk.
“Ini kan bukan pertandingan resmi, santai aja kali.” Irin kembali berlari menghindari kejaran dari cowok itu yang berusaha merebut bola, tiba-tiba Irin merasakan perih di bagian telapak kakinya.
“Time-out!” Pinta Irin, setengah berteriak. Lalu berlari ke tengah lapangan yang teduh, benar saja, darah sudah berlomba-lomba keluar dari permukaan kulitnya.
“Mending lo pulang deh, bahaya.” Ujar cowok itu, sambil terus melakukan tembakan-tembakan tiga angka.
‘Sok care, cih! Cowok apaan nih, bukannya dibantuin malah pamer three point.’ Ujar Irin, mencak-mencak dalam hati.
“Bukannya pulang malah ngeliatin gue, kenapa? Kagum sama three point gue? Atau, pengen gue anterin pulang?” Tepat! Cowok itu bisa membaca pikirannya. Sialan, rutuk Irin dalam hati. “Tapi lo tenang aja, gue nggak akan ngelakuin itu kok. Karena lo harus pertanggung jawabkan apa yang udah lo lakuin terlebih dahulu pada diri lo sendiri.”
“Maksudnya?” Tanya Irin, benar-benar nggak ngerti sama racauan cowok-jago-three-point ini.
“Salah lo kenapa nggak pake sepatu atau sandal main di sini, jadinya kan gitu. Jadi intinya, kalau lo bisa ngelukain diri sendiri lo pasti tau dong gimana caranya ngobatinnya.”
“Kok jadi kesannya gue ngarep banget ya sama pertolongan lo?” Irin sih sebenarnya nggak munafik, dia juga mau ada adegan kayak di novel-novel yang terjadi secara langsung di hidupnya sore ini.
Cowok itu melempar bola basket ke arah Irin, hampir saja cewek itu mencium bola itu namun berhsail ditangkapnya. “Emang, karena gue yakin dengan keadaan kayak gini lo nggak mungkin pulang tanpa pertolongan orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara meringis, karena emang darah yang keluar banyak banget.
Cowok itu menengok ke telapak kaki Irin, terlihat robekan yang cukup besar. “Dengan keadaan kayak gini, apa lo yakin lo bakalan bertahan? Tanpa berusaha mengobatinya?” Tanyanya, dengan raut wajah heran.
“Biarin aja, biar lengkap sakitnya. Hati, pikiran, sekarang badan.”
“Susah ya sama orang yang lagi patah hati. Bisanya nyakitin diri sendiri. Lo tau? Di saat orang-orang mencari sumbangan darah lo malah ngebuang-buang darah haha, dangkal banget pikiran lo!” Ejek cowok itu.
Seharusnya kan dia ngasih gue semangat, kenapa malah ngejekin gue?! Batin Irin dalam hati. “Ternyata bener ya, cowok itu nggak punya perasaan.”
“Tuh kan, lo tu mikirnya dangkal banget. Pantesan orangtua gue nggak mau deket-deket sama orang yang lagi patah hati, ternyata…” Lalu terdengar suara cowok itu tertawa geli, padahal sama sekali nggak ada yang perlu ditertawakan.
“Emang kenyataannya gitu. Cowok itu nggak pekaan, suka mainin perasaan cewek, kadang malah terlalu cuek.”
“Lo pikir Tuhan sebego itu apa sampai-sampai menciptakan semua makhluk yang masuk dalam kategori cowok berkepribadian yang sama? Lo aja yang nggak bisa ngebuka pikiran lo.” Cowok itu menghela nafas panjang. “Patah hati itu pasti ada penyebabnya kan? Dan biasanya orang yang patah hatinya akut kayak elo gini penyebabnya karena terlalu buta.”
“Iya kayaknya, gue nggak pernah ngerasa sefrustasi ini. Padahal cuma gara-gara cowok. Gara-gara ini juga gue berantem sama nyokap gue sendiri. Hebat banget tu cowok.” Maki Irin sambil merentangkan kakinya.
Cowok itu kembali ke tengah lapangan, bermain bola sendiri. “Lo pasti ngebentak nyokap lo kan karena mungkin nyokap lo lagi cerewet.” Irin hanya mengangguk. Hebat juga ni cowok bisa baca pikiran orang, batin Irin.
“Gue yakin lo pasti nggak akan berani ngebentak cowok yang udah bikin lo kayak gini.” Ucap cowok itu, lagi. Irin hanya mengangguk, lagi.
“Lo nyadar nggak, lo udah nyakitin diri lo sendiri terlalu jauh. Sampai-sampai orang yang ngejagain lo dari masih dalam perut sampai sekarang aja lo bentak cuma gara-gara hal kayak gitu.” Cowok itu lalu melakukan lay up, dan masuk. “Lo SMA kan? Kelas berapa?”
“10.” Jawab Irin, singkat.
“Lo anak keberapa?”
“Tunggal, kenapa sih emangnya? Kayak mau ngedata buat kartu pelajar.” Sungut Irin.
“Lo masih kelas 10 tapi udah sefrustasi ini gara-gara cinta. Lo pernah mikir nggak buat nggak sekolah lagi supaya nggak ketemu cowok yang udah bikin lo kayak gini?”
“Pernah, bahkan gue pernah bolos sehari tapi itu juga karena gue kebetulan sakit kok.”
“Lucu?” Tanya cowok itu. “Abaikan, sekarang gue jabarin ya. Lo masih kelas 10, anak tunggal, dan pernah berpikiran buat berhenti sekolah. Lo nyadar nggak kalau harapan orangtua lo sekarang itu cuman elo! Kalau lo gagal atau hancur cuma gara-gara hal kayak gini, apa lo nggak mikirin gimana perasaan orangtua lo saat melihat anak yang mereka rawat dari kecil kacau cuma gara-gara ini?”
“Untungnya sih belum kejadian.”
“Itu sih terserah elo, gue kan cuma mau ngasih gambaran. Nah, coba lo tekuk kaki lo.”
Awalnya Irin sempat bingung, akhirnya nurut juga walaupun sakit di telapak kakinya nggak nahan banget. Tiba-tiba cowok itu berdiri lalu dengan sengaja, oke diulang, DENGAN SENGAJA, menginjak kakinya.
“Awwww, sakit dodol!” Jerit Irin, sambil meringis menahan rasa sakitnya.
Cowok itu hanya tersenyum simpul.  “Nah, lo sekarang ngerasa sakit kan. Sekarang apa yang mesti lo lakuin? Diam di sini terus ngebiarin luka lo infeksi terus tambah parah, atau terus jalan dan seberapa sakitnya luka itu lo terus jalan dan berusaha menikmatinya supaya lo cepet-cepet sampai ke rumah?”
“Ya jelas pilihan kedua lah, kenapa sih emangnya? Dari tadi lo ngomong kayak nggak ada tepiannya.” Sungut Irin, sambil menatap darah yang terus mengucur dari telapak kakinya.
“Nah, terus kenapa nggak lo lakuin kalau itu buat kebaikan lo?”
“Kata gue kan biarin aja gue sakit, biar mati sekalian.”
 “Kalau lo mati, tunggu pas gue udah pergi. Entar gue yang diinterogasi sama polisi karena di sini cuma ada gue sama elo.” Lalu cowok itu meneruskan lagi omongannya. “Anggap aja patah hati yang lo alami sekarang sama kayak kejadian yang tadi. Lo ngerasa sakit, apa lo mesti diam aja terus ngebiarin rasa sakit itu terus-terusan bikin lo kacau? Atau lo terus jalan dan menikmati apa yang lo rasain sampai rasa itu hilang dengan sendirinya?”
“Lo nggak pernah ngerasain jadi gue sih, susah kan jadinya.”
“Gue nggak akan pernah bisa ngerasain jadi diri lo karena gue bukan elo dan selamanya emang nggak akan mungkin jadi elo. Manusia itu udah punya porsi masalah masing-masing, tergantung gimana cara kita buat menyelesaikannya.” Irin tertegun mendengar apa yang dikatakn cowok itu, nggak nyangka aja cowok basket yang biasa dikenal playboy bisa bilang begini.
“Satu hal yang harus lo tau, life’s goes on. Anak kelas 10 kayak lo terlalu hebat buat ngehancurin harapan orangtua lo cuma masalah simple beginian.” Cowok itu masih dengan muka tenangnya, sama sekali nggak menunjukkan raut kasian ataupun terbawa emosi karena kebebalan cewek di depannya ini.
“Apanya yang hebat?” “Nah itu lo tau, ngapain nanya ke gue. Udah ah, gue mau pulang.” Cowok itu lalu berdiri lalu meraih bola basketnya.
Lalu cowok itu mencoba three point –lagi- yang menurut Irin untuk terakhir kalinya di sore ini.
“Mungkin gue nggak akan ngerasa sefrustasi ini kalau aja dari awal gue nggak ngebikin ribet masalah ini. Dan, seharusnya gue sadar dari awal kalau cowok itu banyak dan seharusnya gue nggak perlu sebegini parahnya gara-gara sakit hati. Karena, jalan hidup gue masih panjang. Masih banyak yang harus gue pertanggung jawabkan.” Kata Irin, lalu berusaha berdiri.
“Nah, pinter. Minta maaf gih sana sama nyokap lo. Kasian amat sih jadi lo, punya nyokap malah disia-siain.” Lalu cowok itu berjalan keluar lapangan basket dengan santai.
Irin baru teringat sesuatu. “EH COWOK, NAMA LO SIAPA? BTW, MAKASIH YAAA!”
“ARDANI. LO?” Tanyanya balik, dengan berteriak juga.
“RINAI HUJAN, PANGGIL AJA IRIN.” Teriak Irin. Entah kenapa dia selalu bangga menyebut nama panjangnya yang unik itu.
“OH IYA, SAMA-SAMA YA RIN. ENTAR KAPAN-KAPAN GUE AJAK LO SPARING BASKET LAGI, MAIN LO BAGUS!” Lalu Ardani pun membalikkan badannya dan berjalan menjauh sampai nggak terlihat lagi dari tempat dimana Irin duduk.
Setelah pulang dari sini, dia berjanji akan menjadi pribadi yang lebih dewasa. Dia tau Tuhan memberi rasa sakit agar manusia bisa belajar bagaimana cara memulihkannya. Tapi masalahnya, gimana mau pulang kalau kaki kanannya lemes kayak gini? Jadilah Irin pulang dengan usaha ekstra keras, dengan hanya menggunakan kaki kirinya. Tanpa disadarinya, ada seseorang yang tersenyum geli melihatnya dari jendela kamarnya.

1 comment: