Aku baru menyadari betapa perih dan sakitnya jika orang kita cintai dengan sepenuh hati tidak membalas perasaan kita. Jika untuk kalian itu sudah cukup menyakitkan, mungkin kalian sependapat kalau apa yang aku alami setingkat lebih mnyakitkan. Bukan hanya tidak membalas perasaanku, gadis yang diam-diam kucintai selama ini malah mengolok-olokku, memandang jijik kepadaku seakan-akan aku sosok menjijikan yang tidak layak keberadaannya.
Memang tak dapat aku pungkiri, aku terlalu bodoh mencintai Tanti, gadis tercantik dan terpopuler di sekolah, padahal aku hanya lelaki biasa, amat sangat biasa, bahkan untuk sebagian penghuni sekolah aku terkadang lebih sering dianggap tidak ada. Aku sudah mencintai Tanti sejak kami sekelas di kelas 11 SMA. Tanti begitu mempesona bagiku, walaupun dia sombong dan arogan, tapi untukku bagaimanapun ia, dipandang dari sudut apa pun dia tetap menyita perhatianku.
Dan semua hal dalam diri Tanti yang menyebabkan aku begitu tergila-gila padanya, menuai hal buruk bagiku. Minggu lalu aku yang sudah seperti orang linglung, tiba-tiba saja menghampiri Tanti yang sedang duduk bersama teman-temannya, dan dengan bodohnya aku menyatakan perasaanku padanya.
Kalian tentu bisa menebak jadi seperti apa aku saat itu. Tanti mengeryitkan wajahnya seakan mencium bau busuk, dia memandangku seakan aku keong racun yang benar-benar menjijikan. Saat itu setelahnya, Tanti pergi begitu saja bersama teman-temannya seraya tertawa keras menhinaku. Bisa dibilang hatiku hancur bagai digiling jadi tepung saat itu, ditambah lagi rasa malu yang aku tanggung atas kebodohanku. Tak henti-hentinya seluruh isi sekolah meledekku, mereka meniru perkataanku saat aku menyatakan perasaanku pada Tanti.
“Tanti aku sayang kamu… so sweet.” Ledek Andre, kapten tim basket sekolah yang sombong dan sok kuasa.
Wajahku merah setiap kali ada yang mengejekku, sejak saat itu aku lebih sering membenamkan diri di perpustakaan dan mulai enggan melewati koridor sekolah yang ramai. Tanti pun tak kalah sering mengejekku, malah ejekan darinya terasa amat sangat menyakitkan dari yang lain. Di dalam kelas tak henti-hentinya Tanti memanggilku ‘sayang’ atau ‘cinta’ hanya untuk membuat teman-temannya tertawa.
Aku tak bedanya seperti badut di taman hiburan yang selalu jadi bahan tertawaan. Tak pernah kusangka gadis yang aku sukai, memperlakukanku dengan begitu kejam. Namun entah kenapa aku tidak bisa benar-benar membencinya, ada suara misterius di otakku yang tak memperbolehkan aku untuk membencinya.
* * *
Setelah hari-hari berlalu dan ujian semester pertama untuk kelas 12 sudah dimulai, ejekan-ejekan yang dialamatkan padaku berangsur-angsur reda. Mungkin kesibukan menghadapi soal-soal ujian membuat mereka lupa ada aku untuk diolok-olok, dan aku bersyukur karenanya.
Sudah berminggu-minggu berlalu sejak peristiwa memalukan itu. Ejekan-ejekan untukku sudah 90% mereda. Hidupku kembali normal, walaupun tidak senormal dulu tentunya. Aku tak akan berbohong untuk bilang bahwa aku sudah tidak menyukai Tanti. Aku masih sangat mencintainya, ini terbukti saat mendengar Andre dan Tanti pacaran, itu tetap menyulut kemarahanku terlebih ketika aku melihat mereka berdua sedang berpelukan mesra di kantin belakang, seperti ada seseorang yang menyalakan api di dalam perutku. Tapi aku sadar, aku harus menguasai diriku sebelum aku bertindak tolol lagi.
Aku mencoba sebisa mungkin berhenti untuk memikirkannya, mencoba berhenti membuat diriku menjadi ‘Rifki’ yang bodoh ‘Rifki’ yang hanya karena perasaan yang seharusnya dapatku kendalikan, kembali menjadi bahan ejekan.
* * *
Dua bulan sudah aku berusaha mengubur perasaanku pada Tanti, dua bulan yang aku isi dengan berbagai hal menyibukkan yang bisa membuatku tidak punya ruang bebas untuk memikirkan Tanti, dua bulan yang aku rasa sudah cukup untuk membenahi apa yang seharusnya kubenahi dalam benakku.
Tadinya aku mengira segala usahaku untuk melepaskan diri dari berbagai hal yang bekaitan dengan Tanti akan dengan mudahku lakukan, nyatanya saat melihat ada yang berbeda pada diri Tanti, sisa kepedulianku kembali menuntunku pada sosok Tanti yang kini entah mengapa terlihat begitu lain.
Selepas liburan semester aku melihat dari hari ke hari Tanti terlihat sangat tidak biasa, ia terlihat begitu muram, pendiam, wajahnya selalu terlihat pucat. Ingin rasanya aku datang menghampirinya, sekedar untuk bertanya, ‘Tanti apa kamu baik-baik saja?’ tapi aku sadar jika aku melakukannya, Tanti akan memandangku seperti dulu.
Belakangan Tanti makin terlihat pendiam, bahkan sejauh yang aku perhatikan dia selalu menyendiri sekarang. Tak ada lagi teman-teman se geng-nya yang biasanya selalu tertawa bersamanya, mereka seakan menjauhi Tanti. Aku pernah melihat Tanti bertengkar hebat dengan Andre, saat itu Tanti terlihat begitu marah, sampai-sampai ia menampar keras pipi Andre. Apa mungkin alasan perubahan sikap Tanti karena itu.
* * *
Selepas peristiwa itu aku tidak pernah lagi melihat Tanti, dia tidak pernah masuk sekolah setelah itu. Banyak desas-desus beredar yang mengatakan ‘Tanti hamil.’ Tidak sedikit pula yang mengatakan Tanti melakukan aborsi. Semua terdengar tidak menyenangkan ditelingaku, apa pun yang kudengar dari mereka aku selalu berharap bahwa yang mereka katakan tidak benar.
Satu bulan setelah menghilang, Tanti tiba-tiba muncul di kelas. Ia terlihat sangat pucat dan lemah. Tak seorang pun menyapanya, bahkan teman-teman segengnya kini berpura-pura tidak melihatnya. Nasib Tanti sama denganku ketika aku menjadi bahan ejekan dulu, bahkan untuk Tanti lebih parah. Tak henti-hentinya seisi sekolah mengejeknya setiap kali ia berjalan di koridor.
“Tanti lu kurusan ya sekarang, apa karena abis cuci perut.” teriak salah satu siswi bertampang tengil, sementara Tanti lewat di depannya, berlari sambil menangis. “Kenapa nangis?... sedih ketauan aborsi.”
Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan lap dapur agar ia diam, tapi ini bukan saat yang tepat untuk melakukannya, sekarang aku harus mengejar Tanti yang berlari menuju halaman belakang sekolah. Aku harus mencoba menghiburnya, walaupun pada akhirnya ia akan melihat jijik kearahku, aku tidak peduli.
Aku menemukan Tanti duduk menangis di bangku taman, halaman belakang sekolah, tangannya menutupi wajahnya. Aku berjalan hati-hati menghampirinya.
“Maaf Tanti, boleh aku duduk disini?” tanyaku.
Tanti mendongakkan wajahnya yang basah dengan air mata.
“Mau ngapain lu? Mau ngeledek gue kayak yang lain?” kata Tanti terisak.
Aku menarik nafas dalam, memandangnya dengan pandangan yang amat dalam.
“Saya nggak kayak mereka, saya kesini karena aku peduli sama kamu.” Jelasku
“Peduli…” Tanti mendengus pelan, jelas meragukan semua perkataanku. “Lu peduli soal apa?... soal kabar gue aborsi?... lu nggak usah sok peduli, gue nggak butuh orang-orang munafik, sekarang lu bisa peduli sama gue, tapi nanti lu bakal jauhin gue, sama kayak semua orang yang dulu ngaku sebagai sahabat gue.”
“Kamu percaya kalau saya bilang saya nggak akan menjauh dari kamu apa pun yang terjadi.”
Tanti menatap tajam kearahku. Seakan melalui sorot mata tajamnya ia berusaha melihat apa yang sedang aku pikirkan.
“Bohong…” tandas Tanti. “Lu bakalan sama kayak semua sahabat gue, kalau sekarang gue bilang semua yang mereka bilang tentang gue bener.”
“Buktinya saya tetap duduk disini.” Kataku seraya mengulas senyum tulus.
Tanti tidak membantahku sekarang, ia hanya terduduk diam, menunduk seakan enggan menatap wajahku. Aku melihat air mata kembali mengalir pelan membasahi pipinya.
Tanganku bergerak pelan mndekati tangan Tanti, dengan sisa keberanianku aku mencoba mengenggam tangannya. Tadinya aku mengira Tanti akan menepis genggaman tanganku, tapi nyatanya tidak banyak yang dilakukannya, selain menjatuhkan tatapannya padaku.
“Apa pun yang terjadi sama kamu, seburuk apa pun semua orang bicara tentang kamu, saya akan tetap ada disini untuk kamu, walaupun konsekuensinya kamu akan menatap jijik seperti dulu, saya nggak peduli.”
Mata Tanti kembali berkaca-kaca, dan tak berapa lama, tak pernah terpikir olehku bahkan dalam mimpi terliarku sekalipun, bahwa seorang ‘Tanti Wangun Renggana’ saat ini sedang memelukku dengan erat, mengangis tak terkendali dibahuku.
Kini aku bersumpah. Aku tak akan pernah berhenti mencintai gadis yang menangis dipelukanku ini. Walaupun dia mungkin nanti mengolok-olokku lagi, memandang jijik padaku lagi, aku tidak begitu peduli, yang penting saat ini, aku dapat selalu berada di dekatnya untuk selalu menemaninya di saat-saat terburuknya. Mencoba membuatnya untuk selalu tersenyum bahagia. Karena aku mencintainya.
OLEH : Ria N Badaria Penulis Fortunata & Writer VS Editor
OLEH : Ria N Badaria Penulis Fortunata & Writer VS Editor
Kak Ria..
ReplyDeleteKok bawa-Bawa nama rengga sih? wkwkwwk..
*Ga penting* :P